BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan
interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat
komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi
yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain,
seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia
saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud,
perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi yang baik antar
masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat
tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak
mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain,
maka masyarakat tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan
tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang
terbuka, artinya yang mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan
mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa
kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin
terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam
sosiolingistik disebut bilingualisme dan diglosia.
Dalam
makalah ini, akan dibicarakan tentang Bilingualisme dan Diglosia, serta
hubungan atau kaitan antara keduanya.
1. Apa yang
dimaksud dengan Bilingualisme?
2. Sebutkan dan jelaskan pembagian Bilingualisme?
3. Apa yang
dimaksud dengan Diglosia?
4.
Apa keterkaitan antara Bilingualisme dan Diglosia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bilingualisme
Istilah
bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang
dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).
Dibawah ini
adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan atau bilingualisme
oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai
berikut:
1. Robert
Lado (1964-214)
Kedwibahasaan
merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya.
Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana
tingkatnya oleh seseorang.
2. MacKey
(1956:155)
Kedwibahasaan
adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan
sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan
pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari
segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin
dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis.
3. Hartman
dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan
adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4.
Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan
merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang
penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua
bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan
kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
5. Haugen
(1968:10)
Kedwibahasaan
adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian
kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages),
cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6. Oksaar
Berpendapat
bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan
sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan.
Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perencis sebagai
bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal
Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya,
sehingga warga montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.
Orang yang dapat menggunakan kedua
bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga
dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan). Selain
istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah
multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.
Untuk dapat menggunakan dua bahasa
tentunya seseoran harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya
sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa
lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2).
Setiap
bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan,
melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Umpamanya, di Indonesia
penutur bilingual bahasa sunda (B1) – bahasa Indonesia (B2), hanya bisa
menggunakan bahasa sundanya untuk percakapan yang bersifat kekeluargaan, dan
tidak dapat menggunakannya untuk berbicara dalam sidang DPR. Keadaan di dalam
masyarakat di mana adanya pembeda penggunaan bahasa berdasarkan fungsinya atau
peranannya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik
dikenal dengan sebutan diglosia.
B.
Pembagian Bilingualisme
Adapun
beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan,
yaitu :
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari
pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada
kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa
dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang
individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2.
Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat
suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat
kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar
kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
1. Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkankan
satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu
kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses
menguasai B2.
2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi
bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka
Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan
situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki
status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan
keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan
ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya
tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh
masyarakat itu.
3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe
kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan
kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive
bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical
bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh
aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive
bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik
(asymetrical bilingualism).
C.
Diglosia
Kata
diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh
Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi
sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford
University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang
“Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih
terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul
“diglosia”.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu
bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topik:
1) Fungsi
Merupakan
kriteria diglosia yang sangat pentin. Menurut ferguson dalam masyarakat
diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek
tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah
(disingkat dialek R atau ragam R).
2) Prestise
Dalam
masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi,
lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan
dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) Warisan
Kesusastraan
Pada tiga
dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan
di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.
Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka
dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus
dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya
dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di
Negara-negara berbahasa arab, bahasa yunani, bahasa prancis, dan bahasa jerman.
4)
Pemerolehan
Ragam T
diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R
diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5)
Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan
kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi
formal.
6)
Stabilitas
Kesetabilan
dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah
variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7)
Gramatika
Dalam ragam
T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah
hal yang biasa, tetapi dalam ragam R diangap artificial.
8) Leksikon
Sebagian
besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada
ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9) Fonologi
Dalam bidang
fonologi ada perbedaan structural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan
tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pakar sosiologi yang lain, yakni
Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan
broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep
broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara du bahasa atau dua ragam
atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua
dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya
ada diperbedakan tingkatan fingsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang
disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping
diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
D.
Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Kalau diglosia diartikan sebagai
adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R) dan
bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam
masyarakat. Adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia,
yaitu :
1)
Bilingualisme dan Diglosia
2) Bilingualisme tanpa diglosia
3) Diglosia tanpa bilingualism
4) Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
BAB III
PENUTUP
A.Simpulan
Dari
permasalahan yang sudah disinggung sebelumnya, maka dapat disimpulkan menjadi
beberapa kesimpulan, yang diantaranya :
Dari definisi-definisi para ahli atau
pendapat bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau
lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian.
Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik
secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Adapun
beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan,
yaitu :
1.
Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
2.
Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
3.
Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Selain
pembagian diatas juga ada pembagian menurut para ahli atau pendapat, seperti
Baeten Beardsmore, Menurut Pohl, menurut Arsenan.
Diglosia
untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari
satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu.
Definisi
dari ferguson juga mengungkapkan diglosia menjadi sembilan pokok, yaitu Fungsi,
Prestise,Warisan Kesusastraan,Pemerolehan, Standardisasi,Stabilitas,
Gramatika,Leksikon,Fonologi.
DAFTAR PUSTAKA
- Chaer, Abdul dan Agustina,Leonie. 2010. Sosiolinguistik
Perkenalasan Awal.
Jakarta:Rineka Cipta
-Ibrahim, Dr.Abdul Syukur dan Suparno,Dr.H.
2003. Sosiolinguistik. Jakarta:Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
Suwarjono. 2011. Konsep Dasar Bahasa dan
Sastra Indonesia 1 untuk Mahasiswa S1 PGSD semester 3 (tiga). Bumiayu
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !