BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Alhamdulillahi
rabbil’alamin puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalh ushul fiqih, sholawat
serta salam tak lupa kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
memahami kepada kita tentang syariat islam syariat islam.
Dengan
berkembanganya zaman banyak permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan dan
semuanya itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an hadits dalam pemecahannya,
tapi seiring berkembangnya waktu banyak permasalahan yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW, dalam makalah ini kami akan sedikit mengupas metode yang
digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang
tidak ada nash (ayat atau haditsnya) yaitu melalui metode istihsan, maslahah
al-mursalah dan istishab, qiyas, ijma’, dan lain-lain, tapi dalam makalah ini kami hanya akan
membahas tentang istihsan, maslahah al-mursalah dan istishab.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. ISTIHSAN
A.
Pengertian Istihsan
Secara etimologi istihsan berarti
“menyatakan dan menyakini baiknya sesuatu.”
Secara terminologi imam al-Sarakhsi
(w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan.
الاِسْتِحْسَانُ
هُوَ تَرْكُ القِيَاسِ وَالعَمَلُ بِمَا هُوَ اَقْوَى مِنْهُ لِدَ ِلْيلٍ
يَقْتَضِى ذَلِكَ وِفْقًا لِمَصْلَحَةِ النَّاِس
“Istihsan itu
berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia.”
Adapun dikalangan Syafi’iyah tidak
ditemukan definisi istihsan, karena sejak semula mereka tidak menerima istihsan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah ini Imam Syafi’i mengatakan :
مَنِ
اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa
yang membuat istihsan maka ia telah membuat syara’.
Imam Ghazli (dari kalangan
Syafi’iyah seperti yang dikemukakan diatas, secara tegas memang menolak istilah
istihsan, Imam Ghpzali mengatakan bahwa istihsan yang dikemukakan Imam
al-Karakhi (tokoh ushul fiqih hanafiyah) ada 4 bentuk yaitu :
1. Meninggalkan
qiyas al-Jaliy dan mengambil qiyas al-Khafiy, karena ada imdikasi yang
menguatkannya
2. Meninggalkan
qiyas karena mengikuti pendapat sahabat.
3. Meninggalkan
qiyas karena ada hadits yang lebih tepat.
4. Meninggalkan
qiyas karena adat kebiasaan (‘urf menghendakinya).
Imam Ghozali mengatakan bahwa 3
bentuk pertama dapat diterima, tetapi bentuk terakhir termasuk istihsan
al-bathil (istihsan yang batil).
2
Dengan demikian istihsan yang ditolak Imam Ghozali
adalah istihsan al -‘Urfi.
Dari berbagai definisi istihsan yang
dikemukakan ulama madzhab diatas maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari
istihsan adalah :
1. Mentarjih
qiyas al-khafiy dari pada qiyas al-jaliy karena ada dalil yang mendukungnya.
2. Memberlakukan
pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli dan kaidah umum didasarkan pada dalil
khusus yang mendukungnya.
B. Macam-Macam Istihsan.
Ulama Hanfiyah membagi istihsan
kepada 6 macam yaitu :
1.
Istihsan bi
al-nash/
الاِسْتِحْسَانُ بِالنَّصِّ (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)
2.
Istihsan bi
al-ijma’/ الاِسْتِحْسَانُ بِالِاجْمَاعِ (istihsan yang didasarkn pada ijma’)
3.
Istihsan bi
al-qiyas al-khafiy /الاِسْتِحْسَانُ بِالقِيَاسِ الخَفيِ
(istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)
4. Istihsan bi
al-maslahah/ الاِسْتِحْسَانُ بِالمَصْلَحَةِ (istihsan berdasarkan
kemaslahatan)
5. Istihsan bi
al-‘urfi/ الاِسْتِحْسَانُ
بِالعُرْفِ (istihsan
berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum)
6. Istihsan bi
al-darurah/ الاِسْتِحْسَانُ
بِاالضَّرُوْرَةِ (istihsan
berdasarkan keadaan darurat).
C. Kehujahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama
ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
1. Ayat-ayat
yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia.
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 185
يُرِيْدُاللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ العُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki ksukaran bagi kamu.”
2.
Rasulullah
SAW dalam riwayat ‘Abdullah ibn mas’ud mengatakan
مَا رَاَهُ المُسْاِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَاللهِ حَسَنً
“Sesuatu yang
dipandang baik oleh umat islam maka ia juga dihadap Allah adalah baik. (H.R.
Ahmad ibn Hambal). 3
3.
Hasil
penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang
terperinci menunujukan bahwa memberlakukan hukum qiyas adakalanya membawa
kesulitan bagi umat manusia. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk
menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
Ulama Syafi’iyah, Zahiriyah. Syi’ah
dan mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan mereka sebagaimana yang dikemukakan Imam
Syafi’i adalah :
1. Hukum-hukum
syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan Hadits) dan pemahaman
terhadap nash melalui qaidah qiyas. Istihsab bukanlah nash dan bukan pula
qiyas.
2. Sejumlah
ayat telah menuntut umat islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya
dan secara tegas melarang mengikuti hawa nafsu dalam persoalan yang dihadapi
manusia.
3. Istihsan
adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.
4. Rasulullah
SAW tidak prenah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
5. Rasulullah
telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka
menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
6. Istihsan
tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Maslahah
al-Mursalah.
Salah satu
metode yang dikembangkan ulama usul
fiqih dalam mengistinbatkan hukum dan nash adalah maslahah al-mursalah, yaitu
sesuatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang mendukungya, dan
tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungya,
tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’
(induksi dari sejumah nash).
Sebelum
membahas lebih jauh tentang kensep maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode
dalam mengistinbatkan hukum, terlebih dahulu dibahas hakikat maslahah itu
sendiri.
4
A. Pengertian Mashlahah
Secara etimologi mashlahah sama
dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah berarti manfaat
atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat
beberapa definisi mashlahah yang dikemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh
definisi tersebut mengandung yang sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada
prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam
rangka memelihara tujuan syara’
Tujuan syara’ yang harus diperlihara tresebut ada 5
yaitu:
1. memlihara
agama 3. akal 5. harta
2. jiwa 4. keturunan.
B. Macam-Macam Mashlahah.
Para ahli ushul fiqih mengemukakan
beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi kualitas dan
kepentingannya kemashlahatan itu, para ahli ushul fiqih membagi kepada 3 macam
yaitu :
1. Mashlahah
al-dharuriyyah (المَصْلَحَةُ الضَّرُوْرِيَّةِ)yaitu kemashlahatan
yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di
akhirat kemashlahatan ini ada 5 yaitu (1) memelihara agma, (2) memelihara jiwa,
(3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta. Kelima
kemashlahatan ini disebut dengan al- mashlahah al-khomsah.
2. Mashlahah
al-hajiyyah(المَصْلَحَةُ الحَاجِيَّةِ) yaitu
kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) sebelumnya
yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memlihara kebtutuhan
mendasar manusia.
3. mashlaha
al-tahtsiniyah(المَصْلَحَةُ النَّحْسِنِيَّةِ) yaitu
kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keluasan yang dapat melengkapi
kemashlahatan sebelumnya
Dilihat dari segi kandungan
mashlahah, para ulama usuhl fiqih membaginya kepada :
5
1. Mashlahah
al-‘Ammah(المَصْلَحَةُ
العَامَّةِ) yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan
orang banyak.
2. Mashlahah
al-Khashashah, (المَصْلَحَةُ
الخَصاصَةِ) yaitu kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang
sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi berubah atau
tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul
fiqih diuniversitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu :
1. Mashlaha
al-tsabitah, (المَصْلَحَةُ
الثَّاِبتَةِ) yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah
sampai akhir zaman, musalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat dan haji.
2. Mashlaha
al-mutaghayyirah(مَصْلَحَةُ المُتَغَيَّرَةِ) yaitu
kemaashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan
subjek hukum , seperti permasalahan mu’amalah dan adat kebiasan dan lain- lain.
Dilihat dari keberadaan mashlahah
menurut syara’ terbagi kepada :
1. Mashlahah
al-mu’tabarah(المَصْلَحَةُ المُعْتَبَرَةِ) yaitu
kemashlahatan yang didukung oleh syara’
2. Mashlahah
al-mulghah(المَصْلَحَةُ المُلْغَاةِ) yaitu
kemashlahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentaagan oleh syara’
3. Mashlahah
al-mursalah (المَصْاَحَةُ المُرْسَلَةِ)yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini dibagi 2 yaitu
: (1) mashlahah al-gharibah yaitu
kemashlahatan yang asing atau kemashlatan yang sama sekali tidak ada
dukungannya dari syara’ baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul
fiqih tidak dapat memberikancontoh pastinya. Bahkan Imam al-Ayatibhi mengatakan
kemaashlahatan yang seperti ini tidak ditemukan dalam praktik sekalipun ada
dalam teori. (2) mashlahah al-mursalah yaitu kemashlahatan yang tidak didukung
dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadits).
6
C. Kehujjahan Mashlahah
Para ulama
ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan
hukum sebagai hujjah dalam menetapkan hukum islam. Kemashlahatan seperti ini termasuk
metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa mashlaha al-mulghah tidak dapat
dijadikan hujjah dalam menetapakan hukum islam, demikian juga dengan mashlahah
al-gharibah karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap
kehujahan mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya
sebagai salah satu alasan dalamm enetapkan hukum syara’, sekalipun dalam
penerapannya dan penempatannya mereka berbeda pendapat .
Untuk bisa menjadikan mashlahah
al-murshalah sebagai dalil dalam memetapkan hukum ulama Malikiyah dan Hanbilah
mensyaratkan 3 syarat yaitu :
1. Kemashlahatan
itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang
didukung nash secara umum.
2. Kemashlahatan
itu bersifat rasional dan pasti, bukan perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan
melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan
menghindari menolak kemudharatan.
3. Kemashlahatan
itu menyangkut kpeentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau
kelompok kecil tertentu.
Ulama syafi’iyah pada dasarnya juga menjadikan
mashlahah al-mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, imam
syafi’i, memasukannya kedalam qiyas.
Ada
beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghozali yang dijadikan hujjah dalam
mengistinbatkan hukum, yaitu :
- Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
- Mahlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
- Mashlahah itu termnasuk dalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Alasan jumhur ulama dalam menetapkan
mashlahah dapat dijadikan hujjah
7
dalam
menetapkan hukum, antara lain adalah :
- Hasil indikasi terhadap ayat atau hadits menunjukan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi manusia.
- Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan
- Jumhur ulama juga beralasan dengan merajuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti ‘umar ibn khattab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘umar kemashlahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu bakar mengumpukan al-qur’an atas saran ‘umar ibn al-khattab, sebagai salah satu kemashlahatan untuk melestarikan al-qur’an dan menuliskan al-qur’an pada satu logat bahasa di zaman ‘utsman ibn ‘affaan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-qur’an itu sendiri.
3. ISTISHAB
A. Pengertian Istishab
Secara etimologi istishab berarti
“minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya” secara
terminologi imam as-Syaukani didalam kitabnya irsad al-fuluh
mrengemukakan bahwa istishab adalah “dalil yang mengandung tetapnya suatu
perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.
Maksudnya apabila dalam suatu kasus
telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum
tersebut maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagaimana
adanya.
B. Macam-Macam Istishab.
Para
ulama ushul fiqih mengatakan bahwa istishab itu ada 5 macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan,
kelima macam
8
istishab itu
adalah :
1. Istishab
hukm al-ibahah al-ashliyah (اِسْتِصْحَابُ
حُكْمِ الِابَاحَةِ ا لاَصْلِيَّةِ )
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia adalah boleh selama belum adanya dalil yang menunujukan
keharamannya, istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat
dijadikan hujah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab
yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus
Ibn qayyim al-jauziyah (691-751. H/1292-1350 m ahli
ushul fiqih hambali menyebutnya dengan “washf al-tsabit li al-hukm hatta
yutsbita khilafahu”) sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan
hukum yang berbeda dengan itu. Terhadap kehujahan istishab bentuk kedua ini
terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih.
3. Istishab
terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya
dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya).
Istishabb bentuk ketiga ini dari segi esensinya tidak
diperselisihkan para ulama ushul fiqihakan tetapi dari segi penamaan terdapat perbedaam
para ulama ushul fiqih.
4. Istishab
hukum akal sampai datangnya hukum syar’i.
Maksudnya uma manusia tidak diperkenalkan hukum-hukum
syara’ sebelum datangnya syara’ seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia
sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum.
Menurut ulama hanafiyah istishab dalam bentuk ini hanya bisa
menegaskan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama malikiyah,
syafi’iyah dan hanabilah, istishab
seperti ini juga dapat menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan
datang.
5. Istishab
yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan
kehujahannya.
C. Kehujahan
Istishab.
9
Para ulama ushul fiqih berbeda
pendapat tentang kuhujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
1. Menurut
ulama mutakalimin (ahli kalam) istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang harus
pula berdasarkan dalil.
2. Menurut
mayoritas ulama hanafiyah khususnya muta’akhirin (generasi belakangan) istishab
bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelum dan
menganggap hukum itu tetap berlaku. Pada masa yang akan datang tetapi tidak
bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3. Ulama
malikiyah, syafi’iyah, hanabilah, zahiriyah dan syi’ah berpendapat bahwa
istishab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk mentapkan hukum yang sudah
ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
D. Kaidah-Kaidah Istishab.
Para
ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah yang didasarkan kepada istishab.
Diantaranya adalah :
1. اْلاَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يُثْبِتَ مَا يُغَيِّرُهُ
2. اْلاَصْلُ فِى ْالاَشْيَاءِ
اْلاِبَاحَةِ
3. اليَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
4. الاَصْلُ فِى الذِّمَّةِ
البَرَاءَةُ مِنَ التَكَالِيْفِ وَالحُقُوْقِ
10
BAB III
PENUTUP
A.Simpulan
Secara etimologi istihsan berarti “menyatakan
dan menyakini baiknya sesuatu.”
Secara terminologi imam al-Sarakhsi
(w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan.
الاِسْتِحْسَانُ
هُوَ تَرْكُ القِيَاسِ وَالعَمَلُ بِمَا هُوَ اَقْوَى مِنْهُ لِدَ ِلْيلٍ
يَقْتَضِى ذَلِكَ وِفْقًا لِمَصْلَحَةِ النَّاِس
“Istihsan itu
berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia.”
Secara etimologi mashlahah sama
dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah berarti manfaat
atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat
beberapa definisi mashlahah yang dikemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh
definisi tersebut mengandung yang sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada
prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam
rangka memelihara tujuan syara’
Tujuan syara’ yang harus diperlihara tresebut ada 5
yaitu:
1. memlihara
agama 3. akal 5. harta
2. jiwa 4. keturunan.
Secara etimologi istishab berarti
“minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya” secara
terminologi imam as-Syaukani didalam kitabnya irsad al-fuluh
mrengemukakan bahwa istishab adalah “dalil yang mengandung tetapnya suatu perkara
selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.
11
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf.Ilmu Ushul Fiqh.Darul Kalam.t.th
A.Hanafi. Ushul Fiqh.Jakarta
:Wijaya.1989
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fuquh, Pustaka
firdaus, jakarta, 2008.
Prof. DR. H. Narun Haroen, M.A, Ushul fuquh jilid I,
PT Logos wacana ilmu, Ciputat, 2001.
12
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !