BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peristiwa
komunikasi merupakan peristiwa yang dialami oleh setiap orang dengan berbagai
bahasa.Peristiwa komunikasi merupakan suatu peristiwa yang sangat
majemuk.Komunikasi merupakan peristiwa penyampaian pesan dari komunikator
(pengirim pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Agar pesan tersebut sampai
kepada komunikan, seorang komunikator harus menggunakan bahasa yang juga
dipahami oleh komunikan.Ketika seorang komunikator menggunakan bahasa yang
tidak dipahami oleh komunikan maka pesan yang disampaikan oleh komunikator
tidak akan sampai pada komunikan.Dalam hal ini bahasa sebagai alat komunikasi
mempunyai peranan yang sangat penting.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini memberikan batasan masalah yang akan dibahas,yaitu sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian Alih Kode Bahasa dan Campur Kode Bahasa?
2. Apakah
faktor penyebab Alih Kode Bahasa dan Campur Kode Bahasa?
3. Bagaimana perbedaan dan
persamaan Alih Kode Bahasa dan Campur Kode Bahasa ?
BAB II
PEMBAHASAN
ALIH KODE BAHASA DAN CAMPUR KODE BAHASA
A.
Pengertian Kode
Istilah kode
dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga
selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda,
Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional
(bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial
disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam
dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya
santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan
bahasa lawak). Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan
dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri
atas varian, ragam, gaya, dan register.
B. Pengertian Alih Kode Bahasa
Ohoiwutun
(2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan
pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih
bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam
situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor
seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan
berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Lebih lanjut Apple
dalam Chaer (2004:107) mengatakan, alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian
bahasa karena berubahnya situasi. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia
beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan
bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat
multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa.
Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel
memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
perubahan situasi. Suwito dalam Chaer (2004:114) membagi alih kode menjadi dua,
yaitu :
1. Alih kode ekstern, bila alih
bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya
dan
2. Alih kode intern, bila alih
kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Ada juga
alih kode bahasa :
a. Alih Kode Metaforis
Alih kode
metaforis, yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.
b. Alih Kode
Situasional
Sedangkan
alih kode situasional, yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana
para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu
situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak
tejadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari
suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi
eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga).
C. Faktor
Penyebab Alih Kode Bahasa
Beberapa
faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur
Seorang
penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu
tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau
sebaliknya.
2. Mitra
Mitra tutur
yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode
dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan
berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya
Penutur Ketiga
Untuk
menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya
penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka
berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok
Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya
diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok
pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya
sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk
membangkitkan rasa humor
Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih
ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk
sekadar bergengsi
Walaupun
faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak
mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya
pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
D. Campur Kode Bahasa
Campur kode
(code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara
dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini
biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil,
tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian
atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan
dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan
menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode
termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan
segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer
code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar
belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap
(attitudinal type)
Latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan
(linguistik type)
Latar
belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan,
identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan
demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan
penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
a. penyisipan kata,
b. penyisipan frasa,
c. penyisipan klausa,
d. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e. penyisipan bentuk baster (gabungan
pembentukan asli dan asing.
E.
Faktor Penyebab Campur Kode Bahasa
Campur kode
tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi faktor
terjadinya campur kode itu. Pada penjelasan sbelumnya telah dibahas menganai
ciri-ciri peristiwa campur kode,yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks
pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi
kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai. Berdasarkan hal
tersebut, Suwito (1983) memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut.
1. Faktor
peran
Yang termasuk peran adalah status sosial,
pendidikan, serta golongan dari peserta bicara atau penutur bahasa tersebut.
2. Faktor
ragam
Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan
oeh penutur pada waktu melakukan campur kode, yang akan menempat pada hirarki
status sosial.
3. Faktor
keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Yang termasuk faktor ini adalah tampak pada
peristiwa campur kode yang menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang
lain, dan hubungan orang lain terhadapnya.
Jendra
(1991: 134-135) mengatakan bahwa “setiap peristiwa bicara” (speech event) yang
mungkin terjadi atas beberapa tindak tutur (speech act) akan melibatkan unsur:
pembicara dan pembicara lainnya (penutur dan petutur), media bahasa yang
digunakan, dan tujuan pembicaraan”. Lebih lanjut, Jendra (1991) menjelaskan
bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat dibagi lagi menjadi dua bagian pokok,
umpamanya peserta pembicaraan dapat disempitkan menjadi penutur, sedangkan dua
faktor yang lain (factor media bahasa yang digunakan dan faktor tujuan
pembicaraan) dapat disempit lagi menjadi faktor kebahasaan.
1. Faktor
Penutur
Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode
terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu.
Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode antara bahasa yang satu ke bahasa
yang lain karena kebiasaan dan kesantaian.
Contoh: “Ok,
kita harus stand by”
2. Faktor
Bahasa
Dalam proses belajar mengajar media yang digunakan
dalam berkomunikasi adalah bahasa lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya
sering mencampurkannya bahasanya denan bahasa lain sehingga terjadi campur
kode. Umpanya hal itu ditempuh dengan jalan menjelaskan atau mengamati
istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau
kata-kata dari bahasa daerah maupun Bahasa Asing sehingga dapat lebih dipahami.
Contoh: Kita
harus enjoy dalam bekerja
Uraian
tentang faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode yang dipaparkan di atas sangat
terkait dengan penelitian yang dilakukan. Keterkaitan ini disebabkan oleh
adanya alasan atau pertimbangan dari peserta rapat Senat Mahasiswa Fakultas
Bahasa dan Seni melakukan campur kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali,
campur kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, campur kode bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Jepang dalam proses rapat.
F. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode Bahasa
dan Campur Kode Bahasa
Persamaan
alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam
masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat
perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa
yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan
disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode
utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan
kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa
serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur
bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh
penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa,
sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander membedakan
alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai
alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan
terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri
disebut sebagai campur kode.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Kontak yang
intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur kode
(code-mixing). Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode
ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Alih kode terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu. Campur kode
(code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara
dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Campur
kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut
adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat juga disebabkan faktor kesantaian,
kebiasaan atau tidak adanya padanan yang tepat.
Dalam suatu
peristiwa tutur, alih kode dan campur kode terjadi karena beberapa faktor
yaitu,(1) penutur dan pribadi penutur, (2) mitra penutur,(3) hadirnya penutur
ketiga, (4) tempat dan waktu tuturan berlangsung, (5) modus pembicaraan, dan
(6) topik pembicaraan. Alih kode dan campur kode memiliki fungsi terkait dengan
tujuan berkomunikasi. Dalam kegiatan
komunikasi pada masyarakat multilingual, alih kode dan campur kode pada umumnya dilakukan antara lain untuk
tujuan (1) mengakrabkan suasana, (2) menghormati lawan bicara, (3) meyakinkan
topik pembicaraan, (4) menyajikan humor untuk menghibur, dan (5) menimbulkan
gaya atau gengsi penutur.
B.
Saran-saran
Kami
menyadari sebagai pemakalah, mungkin masih banyak terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini. Maka, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari Dosen Pembimbing dan pembaca demi perbaikan makalah nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
- Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
- Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum.
Jakarta:Rineka Cipta.
- Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik
Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint
Blanc.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !