Guru
Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian
ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan
beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi
para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan
keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih
besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran
beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan
meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari
ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru
dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru
Sekumpul).
Al-Dzakhirat
al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan
Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer,
dicetak, dipublikasikan, dan banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat Banjar,
terutama di Martapura dan Bangil.
LATAR
BELAKANG
Umumnya,
dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran ulama dalam memberi warna
kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama memiliki kedudukan sangat
penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga kata-katanya dipatuhi dan
perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi sandaran atas peran
penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key people) dalam
masyarakatnya tersimpul dalam hadits Nabi Saw: “Ulama adalah pewaris para Nabi”.
Menurut
bahasa, ulama merupakan bentul plural dari kata alim, yang berarti orang yang
mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar, berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran
seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa 197 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa
makna ulama yang terkandung dalam ayat tersebut tidak selalu merujuk kepada
pengertian khusus yang berarti sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama
saja, namun ia bersifat umum. Karena itu jika kita telusuri ulama hanyalah
salah satu kelompok atau sinonim dari apa yang disebut dengan istilah ulil
albab, yakni orang-orang yang berakal, mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama
dianggap sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman luas akan agama
serta memiliki kebijaksanaan (men of understanding and men of wisdom).
Dalam
Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali, antara lain mereka yang
termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai “orang yang diberi hikmah”
(Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil pelajaran” (Yusuf 111), “mereka
yang kritis mendengarkan pemikiran orang lain” (Az-Zumar 18), “orang yang
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu” (Ali Imran 109), “orang yang mengambil
pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah” (As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan
Ali Imran 7), dan “orang-orang yang merasa takut kepada Tuhannya”.
Karena
itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran) menjuluki kelompok ulil
albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama diibaratkan tongkat
pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam Karena itu, kehadirannya
tidak hanya concern dengan peran keulamaannya semata, tetapi mestinya juga
terpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki kehidupan
masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami
mereka, serta siap menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas terhadap
berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama ulama kata
Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu agama, akan
tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang tugas yang
diembannya selaku waratsatul anbiyaa.
Imam
Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya kedudukan ulama di
tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah lampu Allah di bumi,
maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh
cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon kurma, engkau
menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama meninggal, maka
terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang ulama lain yang
akan menggantikannya. Kesalahan yang dilakukan ulama seperti pecahnya sebuah
kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi juga orang-orang
yang ikut bersamanya”.
Dari
kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal namanya bagi masyarakat
Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan) khususnya, adalah Tuan Guru
H. Muhammad Syarwani Abdan. Karenanya, bagi masyarakat Banjar dan masyarakat
Bangil, nama Guru Bangil, pendiri Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota
Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah asing lagi. Keilmuan dan kiprah
keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental
spiritual umat, tidak hanya di daerah kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya,
akan tetapi juga di Kota Bangil (Pasuruan).
Tuan
Guru H. Muhammad Syarwani Abdan yang akrab dipanggil Guru Bangil dikenal
sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu
beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan
beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil dan
sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan
masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga
dikenal sebagai salah seorang keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari yang aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.
Kiprah
Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan beragama masyarakat
merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji. Karena, aktivitas
keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi warna tersendiri
dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset penting bagi masyarakat
Banjar dan Bangil khususnya.
PROFIL
DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL
A.
Kelahiran
Guru
Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Syarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan
bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad
Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan
tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun
kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut
silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang
Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah
Qadhi H. Abu Su’ud, ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah
Khalifah H. Syahabuddin.
Guru
Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat
Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H.
Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7
orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali,
Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain
mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai
saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. Hasan.
B.
Pendidikan
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru
Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal
sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu,
terutama ilmu agama. Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam
belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih
beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan
“Serambi Mekkah”, Martapura. Karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan
oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama
di Pesantren Darussalam Martapura dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada
waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin
H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il
Khatib Dalam Pagar, Martapura.
Beliau
juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana menurut
cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).
Setelah
cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih
muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di
kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa
tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama
terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan,
K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.
Pada
sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke
Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau
‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif di bawah pengawasan paman beliau
‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang
bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu
agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah
Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H.
Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Di samping itu, Guru Bangil juga belajar
dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi,
Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani,
Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori. Abu Nazla
menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif
juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien
al-Maliki.
Selama
mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh
Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima.
Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu
tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat
Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat
Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.
Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih
al-Qadiri.
Guru
Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf,
Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh
Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu,
khususnya tasawuf. Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang
ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara
syariat, tarekat, dan hakikat.
Guru
Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan
Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul. Guru Bangil Tuan
Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan
menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang
karena melihat bakat dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar
dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara
sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu. Bahkan, keadaan dan ketekunan
mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin
kitab dan malam bertongkat pensil”. Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa
tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua
Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar
selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayyid
Muhammad Amin kutbi.
Guru
Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas,
namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu
sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu
tentang beliau. Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau
membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan
bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya
bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian
ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di
Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa
kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota
Bangil dan Pasuruan.
Menurut
cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak
sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa beliau bukanlah
orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan
bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan
tawakkal kepada Allah.
Guru
Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer,
sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas.Selama menuntut
ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di
Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di
awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui
siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang
merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.
C.
Keluarga
Setelah
lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru
Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941
serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah
kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah
ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu
berdiam di sana.
Di
Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd.
Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan
memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. Bintang adalah anak paman
beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang
binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di
antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah
isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin
lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah
ini beliau mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil,
Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri
beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini,
beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi,
Abd. Haris, dan Busra.Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau
keseluruhan adalah 28 orang.
H.
Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus dalam
melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren
Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu beliau juga
tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya.
D.
Wafat
“Sesungguhnya
dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak
mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal
bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00
tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil
wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman
keluarga dari para habaib bermarga (vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam
Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak
jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau sering
diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali
dari Kalimantan Selatan.
Guru
Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, beliau
meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan
warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat
Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat
jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan perjuangan beliau dalam
mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul
Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama
jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.
KIPRAH
DAN PEMIKIRAN
Setelah
lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru
Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941
serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah
kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah
ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu
berdiam di sana.
Sebelum
beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di
Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura, namun pengabdian Guru Bangil di
Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau
kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam
di sana.
Setelah
beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan
mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu
dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu. Di samping
muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren
untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk
Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari
Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.
Pondok
Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga
aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun
dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah,
halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian
menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa,
Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara
santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1.
’Alimul ‘Allamah Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru
Sekumpul), Guru kita .
2.
K.H. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3.
K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak,
Martapura.
4.
K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang
Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan
anak menantu Guru Bangil).
5.
K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6.
K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin,
Gambut.
7.
K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang,
Amuntai.
8.
K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9.
K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin
Timur, Kalimantan Tengah.
10.
K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6,
Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu
beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu
berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil
pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan
tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat secara mandiri dalam
dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah,
ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin
beliau sehari-hari.
Dalam
mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan
suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan
telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika
ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak
dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat
para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru
Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman
praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di
antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di
tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li
Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin,
tahlil, dan tawassul.
Guru
Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa
risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, karena
tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar
secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang
donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Menurut
santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang bisa memahami
dengan baik kemampuan, karakter dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka
merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Di
samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai
keahlian ilmu bela diri (Silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga Beliau
ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi
dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.
Sebagai
seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di
masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas
bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung
jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan yang membuat ulama-ulama dan
tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal
tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat
pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan
masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas
kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu
Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah
tersebut akhirnya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid
Bangil pun dapat diteruskan.
Dalam
masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud.
Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak
beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu
beliau. Beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian.
Guru
Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah sebabnya
beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang
mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama
(NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan
organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini
didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik.
Menurut
Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu
(fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai tersebut terutama
bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.
Dalam
usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi
pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf
yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.
Dalam
bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai
dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam
menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak
setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat
Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.
Dalam
bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih
ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga, ketika ada orang
yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, beliau
menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru
Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.
Al-Dzakhirat
al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan
Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena
pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun
1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit.
Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan
dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada
masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan.
Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang
memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
Buku
yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh
Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya
pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif
dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap
mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan
pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan beliau yang
tertera di bagian penutup buku tersebut.
“Akhirnya
tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan muda dari
kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai suatu perkara agama
itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi hendaknya di-tanyakan langsung
kepada yang betul-betul mengetahui tentang urusan agama jika sekiranya saudara
tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis mengharapkan jangan sampai ada atau
menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan”.
Menurut
Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara orang dari kalangan umat
Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara agama dengan mudah dan
gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau menghalalkan tentang
sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan menyeluruh tentang hakikat
dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh misalnya tentang pembacaan
talqin dan doa untuk mayit serta tawassul. Menurut beliau, buku ini ditulis
sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan tokoh-tokoh muda pemikir
agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa seolah-olah para alim ulama
kita yang terdahulu telah memberikan jalan yang sesat kepada kita. Tulisan ini
sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran penulis sendiri tetapi hasil dari
pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar menurut rel
yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun
yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah talqin, bacaan dan doa untuk
mayit serta pembahasan tentang tawassul.
1.
Talqin
Ada
sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin itu adalah bid’ah
dhalalah.Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam buku ini menjelaskan
bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Abu Umamah
sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu Umamah telah berkata:
“Apabila
aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana Rasulullah telah
memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap orang-orang yang
meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah kepada kami,
beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari saudara-saudaramu,
maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah
seorang di antara kamu berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian katakanlah: Ya
fulan bin fulan hingga akhirnya”.
Menurut
beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai hadits yang dha’if (lemah)
karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit, karena itu tidak bisa
dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang menguatkannya (syahid),
maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang menguatkan (syahid) hadits
tersebut antara lain, yaitu:
“Dari
Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin Umir, telah berkata
mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan berpalinglah
(pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu (sahabat-sahabatnya)
suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi kuburnya, ya Fulan, katakanlah: Laa
ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah, Rabbiyallah wa diinil Islam wa
nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling (pulang)”. (diriwayatkan oleh Said
bin Mansur).
Ketiga
orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair adalah
para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas tidak ada jalan untuk
diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah langsung dari Nabi Saw
seperti tertera dalam kaidah.
Syahid-syahid
yang lain yang menguatkan hadits tersebut adalah yang diriwayatkan dari Amr bin
Ash pada hadits yang panjang, di dalam hadits itu terdapat perkataan:
“Maka
jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah kuburku, kemudian berdiamlah
kamu di samping kuburku sekadar selama waktu disembelih onta dan dibagi-bagikan
dagingnya, sehingga aku mendapat kesenangan dengan kamu dan supaya aku
mengetahui bagaimana menjawab utusan Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab
Shahih Muslim).
Ada
lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan yang Shahih:
“Adalah
Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam atasnya, lalu beliau
bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan mohonkan kepada Allah akan
ketabahan hati baginya karena ia sekarang akan ditanya”.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, telah pula memperkuat isi
hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam hadits ini dimaksudkan adalah
doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan dan menyuruh agar kita
mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu
itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.
Di
dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata bahwa hadits talqin itu
berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi
kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadi-kan
manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula oleh Imam An-Nawawi di dalam
Syarah Muhadzab.
Menurut
Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran
pada orang-orang yang sudah mati, melainkan sekadar memberi ketenangan atau
ketabahan di dalam kubur, seperti tersebut di dalam Alquran surah al-Dzariyat
ayat 55:
Artinya:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman”.
Dengan
mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan menjelaskan masalah
talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan bukanlah perbuatan
bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.
Senada
dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li
Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang lebar, dilengkapi dengan
tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang membolehkan serta
menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 Masalah Agama, karangan
K.H. Siradjuddin Abbas.
2.
Bacaan dan Doa untuk Mayit
Masalah
bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan beliau ini sebenarnya
berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal dunia mendapat manfaat
dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa
manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang yang meninggal dunia
dengan berbagai macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil menunjukkan hal-hal
yang justru sebaliknya.
Pertama-tama
Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu Utsman: “Bacalah surah Yasin
atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”
Menurut
Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di antara perawinya ada yang
kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits tersebut, di antaranya:
Diriwayatkan
oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi
Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin karena menuntut pahala atau ganjaran
kepada Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin
disisi orang yang meninggal dunia diantara kamu”.
Di
dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan ayat-ayat Alquran di
atas kubur, yaitu:
Dari
Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa masuk
halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan Alhakumut Takatsur,
kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala yang kubaca dari kalam
Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka niscaya mereka itu
memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam
kitab Fawaid).
Dari
Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang kepadaku Jibril, ia
berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke kuburan Baqi supaya kamu
memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata Aisyah ra, “Bagaimana saya berkata
untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda: “Sebutlah: Assalamu ahla
al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla al-diyar minal mu-minin wa
al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha lana wa lakum al-afiyah”.
(Riwayat Imam Muslim).
Dalam
membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan beberapa keterangan yang
dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di antaranya: Diriwayatkan dari
Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila engkau masuk halaman kuburan
maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali surah al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa
pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga dari ulama yang lain seperti, Imam
Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan
lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan doa untuk mayit ini.
Mengenai
masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk makanan maupun amal kebaikan
tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah ada sejak masa sahabat. Ini
dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ashim bin Kulaib
yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama sahabat-sahabatnya di rumah
seorang wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di dalam hadits-hadits lain
dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia itu sampai
kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil selamatan yang dikerjakan
untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. Bahkan di dalam fatwa-fatwa
mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat
menyuruh ahlinya agar bersedekah untuknya setelah ia meninggal dunia.
3.
Tawassul
Tawassul
adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai dengan ucapan: dengan berkat
fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu amal, dengan sesuatu ayat, atau
dengan berkat shalawat dan lain-lain.
Guru
Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu tidak ada larangan dalam
agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap berkeyakinan dan percaya
bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab belaka dan tidak
mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang mengabulkan
sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali Dia.
Adapun
dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama yang membolehkan tawassul,
antara lain:
Hadits
yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang yang hidup. Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir wa
al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim, dan
mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik, ia berkata: “Ketika
Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal dunia, ia pernah
memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya Allah, ibuku
Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya (kuburnya) dengan haq
Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.
Dalil
tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul kepada Nabi dan selain dari
Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah hadits:
“Telah
meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas, bahwasanya Sayyidina Umar
minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata pada Sayyidina Abbas:
Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina Abbas …… telah menghadap
kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan hubunganku dengan nabi-Mu”.
Umar
bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul kepada
Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami tawassul
kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadits ini
dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih Bukhari, Jilid I, h.128
dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).
Adapun
mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah wafat, Guru Bangil memberikan
contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan ayah dan ibuku adalah tebusan
engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah baik. Hai Muhammad, sebutlah kami
di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam Abiddunia di dalam kitab Addharra).
Dalil-dalil
tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil yang menujukkan bahwa tabi’in,
tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama berwasilah juga, yaitu:
a.
Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah dan mendatangi kubur
Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b.
Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang bertawassul dengan Imam
Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun bertawassul dengan ahl al-bait.
c.
Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d.
Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan keluarganya, dan dengan
fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab Qashidah Munfarijah.
e.
Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana disebutkan di dalam
banyak kitab.
Dengan
dalil-dalil tersebut yang meliputi perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan
ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat Islam menurut Guru Bangil untuk tidak
meragukan dan tidak pula mengingkari akan bolehnya bertawassul dengan
nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang shaleh).
Berbagai
hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru Bangil berkenaan dengan
tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, tidak
jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam buku 40 Masalah Agama,
karangan K.H. Siradjuddin Abbas. Di mana dalam buku 40 Masalah Agama tersebut,
masalah tawassul dalam mendoa dikemukakan secara panjang lebar, dilengkapi
dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang menyatakan
tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa dengan cara bertawassul.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !