Landasan Pengembangan Kurikulum Bahasa Arab
ASAS-ASAS PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA ARAB
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
1. Pendahuluan
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
pendidikan dan Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan
suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk
mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan dan proses pendidikan
tidak akan berjalan mulus. Kurikulum diperlukan sebagai salah satu komponen
untuk menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Di dalam kurikulum terangkum
berbagai kegiatan dan pola pengajaran yang dapat menentukan arah proses
pembelajaran. Itulah sebabnya, menelaah dan mengkaji kurikulum merupakan suatu
kewajiban bagi guru.
Berbicara lebih jauh mengenai kurikulum telah banyak yang
mengemukakan pendapat para ahli pendidikan. Dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang
SNP dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Senada dengan pengertian di atas, Oemar Hamalik menyatakan bahwa
kurikulum adalah suatu alat yang amat penting dalam rangka merealisasi dan mencapai
tujuan pendidikan sekolah.
Dalam arti luas kurikulum dapat diartikan sesuatu yang dapat
mempengaruhi siswa, baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Namun,
kurikulum haruslah direncanakan agar pengaruhnya terhadap siswa benar-benar
dapat diamati dan diukur hasilnya. Adapun hasil–hasil belajar tersebut haruslah
sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, sejalan dengan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat, relevan dengan kebutuhan ocial ekonomi dan ocial
budaya masyarakat, sesuai dengan tuntutan minat, kebutuhan dan kemampuan para
siswa sendiri, serta sejalan dengan dengan proses belajar para siswa yang
menempuh kegiatan-kegiatan kurikulum. Sementara S. Nasution menyimpulkan bahwa
berbagai tafsiran kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita
peroleh penggolongan yaitu:
Pertama, Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai
hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya
dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang misalnya berisi
sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
Kedua, kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat
yang dilakuaka oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
Ketiga, Kurikulum dapat dilihat sebagai hal-hal yang diharpkan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
Keempat, kurikulum sebagai pengalaman siswa. Dari beberapa pendapat
di atas disimpulkan bahwa kurikulum merupakan seperangkat pelajaran yang harus
diberikan kepada siswa dengan metode tertentu dan pengalaman belajar yang
relevan dengan tujuan pembelajaran di bawah tanggung jawab sekolah.
Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana
karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang dapat
diajukan untuk diperhitungkan. Misalnya, apakah yang ingin dicapai, manusia
yang bagaimana yang diharpakan akan bentuk? Dan seterusnya, hal ini
mengindikasikan bahwa kurikulum haruslah kita lihat apakah relevan dengan
tujuan negara kita (filosofi Indonesia), apakah sejalan dengan kebutuhan
manusia (asas psikologi), apakah sesuai dengan perkembangan, perubahan,
kebudayaan keadaan masyarakat kita (asas sosiolgis), apakah sesuai dengan
bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan dan yang terakhir adalah
apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi (asas teknologi). Dari
paparan singkat di atas dapat kita pahami bahwa untuk mengembangkan kurikulum
ternyata ada beberapa (empat atau lima) landasan atau asas yang perlu kita
perhatikan. Sehingga dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas
landasan-landasan (asas-asas) tersebut.
2. Rumusan dan Batasan
Masalah
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya
membatasi pada persoalan :
a. Hakikat Pengembangan Kurikulum
b. Asas-asas pengembangan Kurikulum
c. Hakikat Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah rencana yang membutuhkan proses dan pengaturan
secara rinci guna mewujudkan tercapainya arah tujuan pendidikan tertentu,
kususnya pada pengembangan kurikulum pendidikan bahasa arab. Mengingat jurusan
arah tempuh pendidikan kita adalah
bahasa arab maka focus pembahasan kita adalah seputar kurikulum bahasa . Namun
perlu disadari bahwa kurikulum bahasa arab pada fondasi pokoknya itu sama
dengan pengembangan kurikulum lain. Berarti pembahasan ini mau tidak mau pasti
akan berurusan dengan kurikulum secara umum, karena bila berbicara masalah
asas-asasnya itu pasti dari fondasi dasar kurikulum pendidikan itu sendiri.
Bila ingin menelaah tentang asas- asas kurikulum maka tidak bisa lepas dari
factor-faktor berikut :
Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan rujukan utama dasar
pendidikan nasional, sebab hal itu merupakan falsafah bagi pendidikan di Negara
Indonesia.
Tujuan pendidikan nasional baik secara umum maupun secara kusus.
Sebab dalam hal ini perlu menggunakan asas filosofis untuk merumuskannya baik
dari segi konsep maupun teknisnya.
Standar pendidikan nasional, artinya ini merupakan paket pendidikan
lengkap dan fasilitas memadai. Biasanya yang menjadi sorotan adalah standar isi
dan standar kompetensi lulusan.
Nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat setempat atau
wilayah setempat yang masih berlaku. Untuk lebih jelasnya adalah tergantung
pada kebutuhan.
Tuntutan zaman, semakin
berkembang maka semakin beragam banyaknya tuntutan. Kususnya dalam bidang IPTEK
yang selalu dirasa factor paling berpengaruh cepat dalam dunia pendidikan
kususnya dalam pengamplikasian kurikulum.
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya proses penyusunan rencana
tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana cara
mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengenmabngkan isi dan bahan
pelajaran serta bagaimana cara belajarsiswa bukanlah suatu proses yang
sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari
visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai; sedangkan menetukan tujuan erat
kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakt. Persoalan
inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang
mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita namakan
asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.
2.1 Asas-asas Pengembangan Kurikulum
Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu
memahami kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Karena guru mempunyai peran
sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa atau guru sebagai agen
pembelajaran. Karena kita ketahui bersama asas merupakan pondasi (landasan),
sehingga hal ini sangat urgen untuk kita ketahui. Terlebih lagi hal ini
merupakan kritik sosial buat pemerintah apakah yang selama ini mereka sajikan
(kurikulum) mempunyai relevan dengan keenam asas ini atau tidak relevan.
Sehingga kita mengetahui, pertama apakah memang kurikulum yang
selama ini kita pakai sesuai dengan tujuan Negara (asas filosofi), kedua apakah
sejalan dengan kebutuhan manusia (asas psikologi), ketiga apakah sesuai dengan
perkembangan, perubahan, kebudayaan dan keadaan masyarakat kita (asas
sosiolgis), apakah sesuai dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang
disajikan (asas organisatoris) dan apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan
teknologi (asas teknologi) dan yang terakhir adalah apakah sesuai dengan
aspek-aspek bahasa yang dipelajari, yang mana pada hal ini adalah bahasa arab
(asas kebahasaan) Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan keenam asas
diatas yakni asas filosofi, asas psikologi, asas sosiolgis, asas teknologi dan
asas kebahasaan sebagai berikut.
2.1.1 Asas Filosofis
Filsafat dalam
arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua
kata philo (cinta) dan shopia (kebijakan). Dalam batasan modern filsafat
diartikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami semua hal yang muncul di
dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang mana diharapkan agar manusia
dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam
semesta. Sekolah bertujuan mendidik anak menjadi manusia yang baik dalam
masyarakat tempat ia hidup. Perbedaan landasan filsafat dengan sendirinya akan
menimbulkan perbedaan dalam tujuan pendidikan. Karena hal ini menyangkut apa
saja bahan pelajaran yang akan disajikan guna mencapai tujuan tersebut.
Sebagai induk dari semua pengetahuan, filsafat dapat dirumuskan
sebagai kajian tentang metafisika yang membahas segala yang ada di alam ini,
epistemologi yang membahas kebenaran, dan axiology,yang membahas nilai.Apabila
diamati dari unsur-unsur tersebut, tampaknya filsafat mempunyai jangkauan
kajian yang sangat luas. Bagi pengembang kurikulum, dengan memiliki pengetahuan
filsafat maka akan memberikan dasar yang kuat untuk mengambil suatu keputusan
yang tepat dan konsisten. Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi
oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat
pendidikan. Walaupun dilihat sepintas filsafat pendidikan ini hanya merupakan
aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan, tetapi antara keduanya, yaitu filsafat dan pendidikan terdapat
hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktek pendidikan sedangkan praktek pendidikan memberikan
bahan-bahan bagi pertimbangan filosofis.
Dalam makalah ini akan dikemukakan salah satu pandangan tentang
filsafat pendidikan, yaitu pandangan John Dewey. Hal itu tidak berarti bahwa
pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat kita atau paling disetujui
penulis. Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu
berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membawa konsekuensi yang
cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah.
Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemologi dan tekanannya kepada proses
berfikir. Proses berfikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat
tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses
berfikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata.Apakah
pendidikan menurut John Dewey? Pendidikan berarti perkembangan, perkembangan
sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan juga berarti sebagai kehidupan.
Bagi Dewey, education is growth, development, life. Proses
pendidikan bersifat kontinyu, dan merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan
pengubahan pengalaman hidup.Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu
kehidupan yang demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan
sebagai cara hidup bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan
komunikasi bersama. Tujuan pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan
pendidikannya. Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri,
yakni kemampuan dan keharusan individu meneruskan perkembangannya. Dalam
penyusunan bahan ajaran menurut Dewey hendaknya memperhatikan syarat-syarat
sebagai berikut:
Bahan ajaran hendaknya konkret, dipilih yang benar-benar berguna
dan dibutuhkan, dipersiapkan secara sistematis dan mendetail,
Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya
ditempatkan dalam kedudukan yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya
kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-mata diambil dari buku
pelajaran. Bahan pelajaran harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, dan harus
mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus memberikan
rangsangan pada anak-anak untuk bereksperimen. Peranan guru bukan hanya
berhubungan dengan mata pelajaran melainkan dia harus menempatkan dirinya dalam
seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Guru juga
harus dapat memilah dan memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan lingkungan. Metode mengajar merupakan penyusunan bahan ajaran
yang memungkinkan diterima oleh para siswa dengan lebih efektif. Metode
mengajar harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif kepada para siswa.Sekolah
merupakan suatu lingkungan khusus, bagian dari lingkungan manusia, yang
mempunyai peranan dan fungsi khusus.
Fungsi-fungsi
dari sekolah adalah:
-
Menyediakan lingkungan yang disederhanakan, karena tidak mungkin memasukkan
semua peradaban manusia yang sangat kompleks ke sekolah,
-Membentuk
masyarakat yang akan datang lebih baik,
-Mencari
keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam lingkungan. Sekolah
memberikan kesempatan kepada individu memperluas lingkungan hidupnya.
Namun suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum
adalah bahwa pengembang kurikulum tidak bisa hanya menonjolkan filsafat
pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan filsafat yang lain, antara lain
falsafah negara dan falsafah lembaga pendidikan.Setiap negara pasti mempunyai
suatu falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Di Indonesia landasan
filosofisnya adalah Pancasila. Seperti dinyatakan dalam ketetapan MPR No.
II/MPR/1968, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara
kita.Tiap lembaga pendidikan mempunyai misi dalam rangka bagian dari pendidikan
nasional.
Falsafah suatu lembaga pendidikan (Universitas, IAIN, UIN, STAIN,
Akademi maupun Sekolah) jarang sekali dinyatakan secara jelas, spesifik dan
eksplisit dalam bentuk tertulis. Bahasa Arab masuk wilayah Indonesia dapat
dipastikan bersamaan dengan masuknya agama Islam, karena bahasa Arab erat
kaitannya dengan berbagai bentuk peribadatan dalam Islam. Maka tujuan
pembelajaran bahasa Arab yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang
muslim dalam menunaikan shalat. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, materi yang
diajarkan adalah doa-doa shalat serta surat-surat pendek dalam al-Qur’an yang
lazim disebut juz amma.
Apabila pembelajaran bentuk pertama ini kita lihat dari pendekatan
filososfis maka tentunya belum ada tujuan eksplisit yang tertulis yang bisa
dijumpai. Orang belajar bahasa Arab semata-mata karena motif agama. Meski
demikian secara tersirat sudah ada tujuan yang jelas, yakni bahasa Arab sebagai
sarana untuk beribadah.Pengajaran bahasa Arab yang verbalistik ini dirasa tidak
cukup, karena al-Qur’an tidak cukup dibaca hanya sebagai sarana peribadatan
saja, melainkan pedoman hidup yang harus dipahami ma’nanya dan diamalkan
ajaran-ajarannya. Maka muncullah pengajaran bahasa Arab bentuk kedua dengan
tujuan pendalaman ajaran agama Islam, yang tumbuh berkembang di pondok
pesantren. Materi pelajaran di pesantren ini meliputi fiqih, aqaid, hadist,
tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, saraf dan balaghah dengan buku
teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari pelbagai abad masa lalu.
Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua – yang dapat digolongkan ke dalam bentuk
pengajaran bahasa Arab untuk tujuan khusus – adalah yang paling dominan di
tanah air dan diakui kontribusinya dalam memahamkan umat Islam Indonesia
terhadap ajaran agamanya.
Meski dipandang dari segi penguasaan bahasa Arab, kemahiran yang
berhasil dicapai terbatas pada kemahiran reseptif. Bentuk pembelajaran bahasa
arab yang kedua ini juga hampir tidak berbeda jauh dengan bentuk pembelajaran
bahasa Arab yang pertama. Hanya tujuannya saja yang diperluas, yakni
mempelajari atau memperdalam ajaran Islam dan demikian juga materi-materi
pelajaran yang diajarkan sudah beragam.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kebanyakan lembaga-lembaga
pendidikan jarang membuat falsafah lembaganya secara tertulis. Falsafah yang
dimaksudkan di sini adalah mencakup:
· Alasan rasional mengenai eksistensi
lembaga pendidikan itu,
· Prinsip-prinsip pokok yang
mendasarinya,
· Nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung
tinggi,
· Prinsip-prinsip
pendidikan mengenai anak, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat
pengetahuan.
Sementara bentuk lain pengajaran bahasa Arab yang ada di Indonesia
adalah yang terdapat di lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum),
meminjam istilah Wajiz Anwar, L.Ph adalah “bentuk yang tidak menentu”.
Ketidakmenentuan ini bisa dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi
tujuan, terdapat kerancauan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan
(menguasai kemahiran berbahasa) atau sebagai alat untuk menguasai pengetahuan
lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua dari segi jenis bahasa yang
dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakah bahasa Arab klasik, bahasa Arab
Modern atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga dari segi metode, terdapat
kegamangan antara mempertahankan yang lama (gramatika-terjemah) dan metode baru
(all in one sistem, direct methode dll).
Melihat fenomena ini pemerintah memang telah melakukan
perbaikan-perbaikan, diantaranya dimulai sejak workshop penyusunan silabus
pengajaran bahasa Arab untuk tingkat dasar, menengah, dan lanjut (1972) sampai
disosialisasikannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (disingkat KBK pada tahun
2004) dalam jajaran pendidikan Indonesia, dan mengadakan pelatihan bagi guru
mengenai berbagai pendekatan atau strategi pembelajaran mutakhir, seperti
Pembelajaran Quantum, (Quantum Learning) Belajar Mengajar Kontekstual
(Contextual Teaching) dan sebagainya.Dari segi landasan filosofis, bentuk
pengajaran bahasa Arab yang ketiga ini memiliki landasan filosofis yang jelas,
yaitu ‘Pancasila’. Namun sayangnya asas filosofis disini nampaknya masih
monoton atau asas tunggal dimana filsafat pendidikan masih belum difungsikan.
Sehingga muncullah problem- problem sebagaimana yang dikemukakan oleh Wajiz
Anwar di atas. Atau mungkin masalah ‘kegagalan pembelajaran Bahasa Arab’ adalah
masalah yang sangat kompleks, sehingga yang perlu diperbaiki bukan hanya sisi
landasan filosofisnya saja.
2.1.2 Asas Psikologis
Dalam pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan
pendidik serta antara peserta didik dengan orang-orang lainnya. Manusia berbeda
dengan mahluk lainnya seperti hewan, benda dan binatang karena kondisi
psikologisnya. Kondisi psikologis tiap individu berbeda karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan
faktor-faktor yang dibawa sejak kelahirannya.Minimal ada dua bidang psikologi
yang mendasari kurikulum, yaitu psikologi perkembangan, karena peserta didik adalah
individu yang sedang berada dalam proses perkembangan dan psikologi belajar,
karena kemajuan-kemajuan yang dialami peserta didik sebagian besar karena usaha
belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan, pembiasaan,
pemahaman, penerapan, maupun pemecahan masalah.Psikologi perkembangan membahas
perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid
dengan sel telur sampai dengan dewasa.
Sementara psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana
individu belajar.Apabila landasan psikologi perkembangan ini kita coba terapkan
dalam pembelajaran bahasa Arab maka hal yang pertama kali perlu diperhatikan
adalah masalah kesesuaian materi dengan tahap perkembangan peserta didik.
Misalnya anak yang masih belajar bahasa Arab di tingkat Madrasah Ibtidaiyah
tentunya tidak tepat bila diberi materi pelajaran qawaid. Selain itu dalam
menyajikan materi pelajaran dari Madrasah Ibtadaiyah sampai Madrasah Aliyah
perlu dirancang sedemikian rupa dengan menjadikan masa/fase perkembangan fisik
dan intelektual peserta didik sebagai landasan dan menghasilkan susunan materi
yang berangkat dari hal-hal yang mudah menuju hal-hal yang rumit dan kompleks.
Sementara dari teori psikologi belajar kita bisa menerapkan beberapa teori.
Misalnya terori Stimulus-Respon dari aliran Behaviorisme.
Dengan model reward dan punishment dalam pembelajaran tentunya
siswa lebih bersemangat. Berikan saja hadiah yang sederhana misalnya penggaris
atau ballpoint untuk setiap jawabnya yang benar yang diberikan oleh siswa. Atau
ketika menghukum siswa, berilah hukuman yang edukatif misalnya dengan menyuruh
siswa menghafalkan 50 kosa kata baru dalam bahasa Arab.
2.1.3 Asas Sosiologis atau Sosial Budaya
Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita
dan kebutuhan masyarakat. Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum para
pengembang kurikulum hendaknya merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka
tinggal, merespon terhadap berbagai kebutuhan yang dilontarkan atau diusulkan
oleh beragam golongan dalam masyarakat. Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang
harus dipilah-pilah, disaring dan diseleksi agar menjadi suatu keputusan dalam
pengembangan kurikulum. Kompleksitas kehidupan dalam masyarakat disebabkan oleh
:
· Dalam masyarakat terdapat tata
kehidupan yang beraneka ragam,
· Kepentingan antar individu
berbeda-beda,
· Masyarakat selalu mengalami
perkembangan.
Bila dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Arab, maka kita perlu
mengambil keputusan dengan tepat, masyarakat membutuhkan belajar bahasa Arab
untuk apa? Apakah untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam, atau mungkin sarana
komunikasi antar bangsa. Seandainya masyarakat membutuhkan bahasa Arab karena
untuk tujuan dunia kerja (TKW) maka tentunya yang lebih ditekankan adalah
kemampuan muhadatsahnya (conversation) dan seandainya masyarakat membutuhkan
untuk mendalami ajaran-ajaran Islam maka tentunya kemampuan gramatikal dan
tarjamah perlu diberikan. Sedapat mungkin kurikulum dibangun dan dikembangkan
dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan berikut dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada zamannya.
2.1.4 Asas Organisatoris
Asas ini berkenaan dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran
yang disajikan. Bagaimana bahan pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk
mata pelajaran yang terpisah-pisah, atau bidang studi seperti yang dilaksanakan
di Indonesia, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang
diberikan dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran dalam bentuk
kurikulum yang terpadu.Hal ini juga muncul dalam Bahasa Arab.
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pengajaran bahasa Arab. Yang
pertama نظرية الوحدة atau integrated system
dan kedua نظرية الفروع atau separated system.Untuk me refresh
ingatan kita, perlu dijelaskan kembali secara singkat tentang dua pendekatan
tersebut. Nadhariyatul Wahdah dimaksudkan agar dalam pembelajaran bahasa kita
harus melihat bahasa itu sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan sebagai
bagian-bagian atau segi-segi yang terpisah dan masing-masing berdiri sendiri.
Sedangkan Nadhariyatul Furu’ justru sebaliknya, dalam arti bahasa itu terdiri
dari beberapa aspek, baik gramatik, morpologis, sintaksis, semantic, leksikal,
stilistik yang harus diajarkan secara terpisah-pisah sesuai dengan cabangnya
masing-masing.
Tampaknya landasan organisatoris pengajaran bahasa Arab di
Indonesia untuk tingkatan Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Madrasah Aliyah
bahkan Perguruan Tinggi (PT) menggunakan pendekatan Nadhariyatul Wahdah.
Sehingga pengajaran bahasa Arab disajikan dalam bentuk satu kesatuan bidang
studi. Dalam satu kesatuan bidang studi tersebut sudah mencakup materi
al-qaidah, al-Qiraah, al-Hiwar, dan Imla’. Sementara untuk jurusan tertentu di
perguruan tinggi, seperti Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Bahasa dan Sastra Arab
(BSA) menggunakan pendekatan Nadhariyatul Furu’ di mana materi-materi bahasa
Arab disajikan secara terpisah.
2.1.5 Asas Perkembangan Ilmu dan Teknologi
Yang dimaksud dengan asas pengembangan ilmu dan teknologi adalah
para pengambil kebijakan kurikulum hendaknya memperhatikan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa masyarakat terpencil yang tertutup, dengan adanya transportasi dan
komunikasi yang luas berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan mau
berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang tadinya hanya
konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang
lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru.
Hal-hal di atas menuntut perubahan pada system dan isi pendidikan.
Sehingga, pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan
lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup pada masa kini
dan masa yang akan datang.
Dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa Arab, maka sudah
seyogyanya mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang
ada sekarang ini. Misalnya untuk keperluan kemahiran istima’, dirancang sebuah
software yang bisa dimanfaatkan oleh siswa di labolatorium bahasa atau
digunakan secara mandiri. Sehingga problema kegagalan siswa memperoleh
kemampuan aktif ekspresif bisa diatasi.
2.1.6 Asas Kebahasaan
Setiap bahasa mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan bahasa
lain. Oleh karena itu, dalm pengembangan kurikulum bahasa Arab, terutama untuk
pembelajarannya bagi selain orang Arab harus memperhatikan berbagai aspek
bahasa tersebut. Asas kebahasaan ini meliputi berbagai kajian bahasa Arab yang
bersifat teoritik maupun praktik. Seperti hakikat bahasa Arab, karakteristik
bahasa Arab dan kontrastif dan error analisis.
3.2 Hakikat bahasa Arab
Hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum bahasa
Arab diantaranya adalah hakikat bahasa Arab atau the nature of Arabic language.
Bahasa Arab memiliki prinsip dasar:
· bahasa adalah suatu
sistem
· bahasa adalah bunyi
ujaran
· bahasa adalah
tersusun dari lambing-lambang albitrer
· bahasa adalah
bersifat unik dan khas
· bahasa adalah
dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
· bahasa adalah alat
komunikasi
· bahasa berhubungan
erat dengan budaya setempat
· bahasa selalu
berubah-ubah
3.3 Karakteristik Bahasa Arab
Aspek karakteristik bahasa juga harus diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum bahasa Arab. Diantara ciri-ciri dan kekhasan bahasa arab
Al-Ashwat
Al-Isytiqaq
Al-Ma’ani
Al-Tarkib
Al-Lahjah
Al-Ta’rib
Al-Rasm
A-adab (Ahmad Syalabi,1970:23-25)
3.4 Kontrastif Analisis dan Error Analisis
Kontrastif analisis adalah asalah suatu kajian yang membandingkan
dua bahasa atau lebih dengan mengacu pada segi-segi persamaan dan perbedaan.
-Error analisis adalah suatu kajian yang membahas tentang
kesilapan- kesilapan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa asing.
KONSEP DASAR KURIKULUM
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
Kurikulum
merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan
pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran
pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah
dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan
hidup suatu bangsa (the way of life). Tujuan dan pola kehidupan suatu negara
banyak tercemin dan ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai
dari kurikulum pada jenjang pendidikan terendah sampai perguruan tinggi
(university). Oleh sebab itu, jika terjadi perubahan system ketatanegaraan,
maka dapat berimplikasi pada perubahan system pemerintahan dan sistem
pendidikan, bahkan pada sistem kurikulum yang berlaku.
Pemahaman
tentang kurikulum bermacam-macam, dari yang sangat sederhana seperti kurikulum
merupakan mata pelajaran sampai ke kurikulum sebagai kegiatan sosial. Uraian
mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian pengertian kurikulum. Pemahaman
tentang kurikulum akan mempengaruhi praktik-praktik pengembangan kurikulum.
Oleh sebab itu, dimensi-demensi kurikulum, fungsi, dan peranannya serta
hubungan dengan Bahasa Arab merupakan fokus bahasan pada bab ini.
1.1.
Pengertian Kurikulum
Secara
etimologis, istilah ‘kurikulum’ (curriculum) berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
curir yang berarti “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Istilah
kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada
zaman Romawi Kuno di Yunani. Daalam Bahasa Prancis, istilah ‘kurikulum’ berasal dari kata courier yang berarti
“berlari” (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish untuk memperoleh
medali atau penghargaan. Istilah yang berasal dari dunia olah raga atletik
tersebut kemudian berubah ke dunia pendidikan menjadi program sekolah dan semua
orang yang terlibat di dalamnya. Sehinga dikatakan: Curriculum is the entire
school program and all the people in it. Program tersebut berisi mata
pelajaran-mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh oleh peserta didik
selama kurun waktu tertentu.
Dengan
demikian, secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di
sekolah/madrasah untuk mempeoleh ijazah. Dikatakan oleh Ragan (1966): “The
curriculum has mean the subject taught in school or the course of study.” Sekalipun pengertian ini tergolong
tradisional, tetapi paling tidak orang bisa mengenal dan mengetahui pengertian
kurikulum. Realitas menunjukkan istilah “mata pelajaran” sampai saat ini di
masyarakat masih merujuk apa yang disebut sekarang dengan ‘kurikulum'.
Pandangan
klasik dalam penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai saat ini adalah
rasional Tyler (1949) yang mengemukakan
pertanyaan sebab akibat yang meliputi:
a.
Tujuan apa yang harus dicapai di sekolah/madrasah?
b.
Pengalaman pendidikan apakah yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan
pendidikan tersebut?
c.
Bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola secara efektif?
d.
Bagaimana kita dapat menentukan bahwa tujuan pendidikan ini telah
dicapai? (Tyler, 1949)
Pemikiran
Tyler ini sangat linear dan mudah diikuti. Tujuan sangat dipentingkan dalam
penyusunan kurikulum. Dengan menentukan tujuan akan mudah bagi siapa pun untuk
dapat melaksanakan perwujudan tujuan tersebut dan kemudian melakukan penilaian
sejauh mana tujuan tersebut telah dicapai.
Apabila
tujuan telah ditentukan, kemudian dipertanyakan bagaimana pengalaman-pengalaman
belajar dirancang agar dapat dilaksanakan. Tentu dalam melaksanakan pengalaman
belajar perlu diketahui pengelolaan atau pengaturan kegiatan belajarnya agar
dapat lebdapat lebih efektif. Selanjutnya kegiatan penilaian pun sangat
dipentingkan dalam pemikiran Tyler. Penilaian dapat langsung memperbaiki tujuan
pembelajaran, rancangan pengalaman belajar, atau secara bertahap menyempurnakan
pelaksanaan pembelajaran untuk kemudian menyempurnakan tujuan kurikulum.
Pandangan
Tyler ini kemudian disempurnakan oleh Hilda Taba (1962). Taba menambahkan diagnosis
kebutuhan dan seleksi konten. Menurut Taba, kurikulum, pembelajaran, dan
pengembangan keperibadian tidak dapat diwujudkan secara linear seperti
pencapaian tujuan yang ditentukan oleh pengambil keputusan.
Selain Hilda
Taba, beberapa gagasan dari para ahli kurikulum memengaruhi pengembangan
kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman. Schubert (1986), Ornstein dan
Hunkins (1988), serta Cornbleth (1990) masing-masing memberikan kontribusi yang
sangat berharga dalam penyempurnaan kurikulum. Beberapa pemikiran tentang
kurikulum ini dapat dilihat pada table 1.2 berikut.
- Definisi Tyler 1949
Pada tahun
1949 Tyler mengidentifikasi empat pertanyaan sebagai parameter penentuan
kurikulum, yaitu:
1.
Tujuan pendidikan apa yang harus dicapai di sekolah?
2. Pengalaman pendidikan apakah yang dapat
disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut?
3.
Bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola secara efektif?
4. Bagaimana kita dapat menentukan bahwa
tujuan pendidikan ini telah dicapai?
-Hilda Taba 1962
Kurikulum harus memuat:
·
Persyratan tujuan,
· Menunjukkan pemilihan dan
pengorganisasian subtansi, memanifestasikan pola belajar mengajar, serta
·
Memuat program penilaian hasil belajar.
-Schubert 1986
Menurut Schubert, kurikulum merupakan:
·
Mata pelajaran,
·
Program kegiatan pembelajaran yang direncanakan,
·
Hasil pembelajaran yang diharapkan,
·
Reproduksi kebudayaan,
·
Tugas dan konsep yang mempunyai ciri-ciri tersendiri,
· Agenda untuk rekonstruksi sosial, serta
“currere” (penafsiran dari kecakapan hidup).
-Ornstein dan Hunkins 1988
Pendekatan
dalam kurikulum perlu mencerminkan kedudukan yang menyeluruh dari dasar
filosofi, teori dan pelaksanaannya.
Pendekatan dalam kurikulum meliputi:
·
Behavioral-rasional,
·
Sistem manajerial,
·
Intelektual-akademik
·
Humanistic-estetik, dan
·
Rekonseptualisasi.
-Layton 1989
Kurikulum dipengaruhi oleh sistem:
·
Sosial politik,
·
Ekonomi,
·
Rasional,
·
Teknologi,
·
Moral,
·
Keagamaan, dan
·
System keindahan.
-Cornbleth 1990
Pengembangan
merupakan kegiatan sosial yang berkesinambungan yang dipertajam oleh berbagai
pengaruh kontekstual di dalam dan di luar kelas, serta diwujudkan secara
interaktif terutama oleh guru dan peserta didik. Kurikulum bukan produk yang
dapat dirasa atau dibayangkan, tetapi merupakan produk nyata dari interaksi
sehari-hari, antarpeserta didik, guru, pengetahuan, dan lingkungan. Kurikulum
mancakup kurikulum dalam praktik, kurikulum sebagai produk, objek, atau
dokumen, konteks akan mempertajam kurikulum dalam praktik.
Pengertian
kurikulum secara modern adalah semua kegiatan dan pengalaman dan pengalaman
petensial (isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi di
dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab
sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Implikasi pengertian ini, antara
lain:
a.
Kurikulum tidak hanya terdiri atas sejumlah mata pelajaran, tetapi juga
meliputi semua kegiatan dan pengalaman potensial yang telah disusun secara
ilmiah.
b.
Kegiatan dan pengalaman belajar tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi
juga di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah. Kegiatan belajar di sekolah
meliputi: menyimak, bertanya, diskusi, demonstrasi, belajar di perpustakaan,
eksperimen di laboratorium, workshop, alahraga, kesenian, organisasi siswa, dan
lain-lain. Sedangkan kegiatan belajar di luar sekolah seperti mengerjakan tugas
di rumah (PR), observasi, wawancara, studi banding, pengabdian pada masyarakat,
PPL, dan lain-lain. Dengan demikian, intra-curricular, extra-curricular dan
co-curricular termasuk kurikulum.
c.
Guru sebagai pengembang kurikulum perlu menggunakan multistrategi dan
pendekatan, serta berbagai sumber belajar secara bendekatan, serta berbagai
sumber belajar secara bervariasi.
d.
Tujuan akhir kurikulum bukan untuk memperoleh ijazah, tetapi untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Ada juga
pengertian kurikulum yang lebih luas lagi yaitu semua kegiatan dan pengalaman
belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi
peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab
sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini
bermakna hidden curriculum, misalnya, fasilitas sekolah/kampus, lingkungan yang
aman, bersih, indah, rapi, dan tertata, suasana keakraban, kerja sama yang
harmonis, ramah tamah, santun dan saling mendorong dalam proses pembelajaran,
serta media dan sumber belajar yang memadai. Kesemuanya itu terletak pada kerja
sama yang harmonis antara kepala sekolah, guru, peserta didik, staf TU, orang
tua, dan para stake holders.
1.2.
Dimensi-Demensi Kurikulum
S. Hamid
Hasan (1988), bependapat ada empat dimensi kurikulum yang saling berhubungan,
yaitu “kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai sutu
rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan kurikulum
sebagai suatu hasil belajar”. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) meninjau
kurikulum dari tiga dimensi, yaitu: “kurikulum sebagai ilmu, kurikulum sebagai
sistem, dan kurikulum sebagai rencana”. Sedangkan Zainal Arifin (2011:8-12)
merinci menjadi enam dimensi, yaitu: “kurikulum sebagai suatu ide, kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan, kurikulum
sebagai hasil belajar, kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu, kurikulum sebagai
suatu sistem.” Berikut rangkumannya.
1.2.1
Kurikulum sebagai Ide
Ide atau
konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikuti
perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan masyarakat,
serta IPTEK. Dimensi kurikulum sebagai
ide, biasanya dijadikan inspirasi dan langkah awal pengembangan kurikulum,
yaitu melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang berkembang
dalam studi pendapat tersebut, kemudian akan dipilih dan ditentukan ide-ide
mana yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan konstruktif sesuai dengan visi-misi
dan tujuan pendidikan.
1.2.2
Kurikulum sebagai Rencana
Dimensi
kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang dalam suatu dokumen tertulis.
Dimensi ini pada dasarnya merupakan realisasi dari dimensi sebelumnya.
Aspek-aspek penting yang perlu dibahas, antara lain: pengembangan tujuan dan
kompetensi, struktur kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi
kurikulum, manajemen kurikulum, hasil belajar, dan system evaluasi.
1.2.3
Kurikulum sebagai Proses
Kurikulum
harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Apa yang dilakukan peserta didik
di kelas juga merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum
sebagai ide dengan kurikulum sebagai proses merupakan suatu rangkaian yang
berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh, karena semua kegiatan di sekolah
maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari
kurikulum.
1.2.4
Kurikulum sebagai Hasil
Hasil
belajar adalah kurikulum, tetapi kurikulum bukan hasil belajar. Hasil belajar
sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai domain, seperti pengetahuan
(kognitif), keterampilan, sikap, dan lain-lain (afektif dan psikomotor). Secara
teoretis, domain hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis
domain tersebut harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh
berbagai faktor, di antaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan
lingkungan.
Zainal
Arifin (2011) menyebutkan hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu
“sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasasi
peserta didik, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan
informasi dalam inovasi pendidikan, sebagai indikator intern dan ekstern dari
suatu institusi pendidikan, dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap
(kecerdasan) peserta didik.
1.3.
Fungsi dan Peranan Kurikulum
1.3.1 Fungsi Kurikulum
Dilihat dari
aspek pengembang kurikulum (guru), menurut Zainal Arifin (2011:12) menjelaskan kurikulum mempunyai fungsi
sebagai berikut:
a.
Fungsi Preventif, yaitu mencegah kesalahan para pengembang kurikulum
terutama dalam melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana kurikulum,
b.
Fungsi Korektif, yaitu mengoreksi dan membetulkan kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh pengembang kurikulum dalam melaksanakan kurikulum, dan
c.
Fungsi Konstruktif, yaitu memberikan arah yang jelas bagi para pelaksana
dan pengembang kurikulum untuk membangun kurikulum yang lebih baik lagi pada
masa yang akan datang.
Sementara,
menurut Hilda Taba (1962) mengemukakan ada tiga fungsi kurikulum, yaitu:
a.
Sebagai transmisi, yaitu mewariskan nilai-nilai kebudayaan,
b. Sebagai transformasi,
yaitu melakukan perubahan atau rekonstruksi sosial, dan
c.
Sebagai pengembangan individu.
Dilihat dari
sisi peserta didik, Alexander Inglis (dalam Zainal Arifin, 2011:13)
mengemukakan beberapa fungsi kurikulum, yaitu:
a. Fungsi penyesuaian, yaitu
membantu peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara
komprehensif;
b. Fungsi pengintegrasian,
yaitu membentuk pribadi-pribadi yang terintegrasi sehingga mampu bermasyarakat;
c. Fungsi perbedaan, yaitu
membantu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan individual dalam
masyarakat;
d. Fungsi persiapan, yaitu
mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi;
e. Fungsi pemilihan, yaitu
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih program-program
pembelajaran secara selektif sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya;
f. Fungsi diagnostik, yaitu membantu peserta
didik untuk memahami dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang
dimilikinya.
1.3.2 Peranan Kurikulum
Menurut
Oemar Hamalik (1990) terdapat tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat penting,
yaitu:
a. Peranan konservatif, yaitu
peranan kurikulum untuk mewariskan, mentransmisikan, dan menafsirkan
nilai-nilai sosial dan budaya masa lampau yang tetap eksis dalam masyarakat.
Sekolah sebagai pranata sosial harus dapat memengaruhi dan membimbing tingkah
laku peserta didik sesuai dengan visi, misi dan tujuan pendidikan nasional.
b. Peranan kritis dan
evaluatif, yaitu peranan kurikulum untuk menilai dan memilih nilai-nilai
sosial-budaya yang akan diwariskan kepada peserta didik berdasarkan kriteria
tertentu. Perubahan dan perkembangan nilai-nilai tersebut belum tentu relevan
dengan karakteristik budaya bangsa kita. Nilai-nilai yang tidak relevan tentu
harus disingkirkan dan diganti dengan nilai-nilai budaya baru yang positif dan
bermanfaat;
c. Peranan kreatif, yaitu peranan kurikulum
untuk menciptakan dan menyusun kegiatan-kegiatan yang kreatif dan konstruktif
sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum
harus dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik melalui
berbagai kegiatan dan pengalaman belajar yang kreatif, efektif, dan
kondusif.
1.4. Teori Kurikulum
1.4.1 Pengertian Teori
Menurut
Kerlinger dalam Beachamp (1975) bahwa “a theory is a set of interrelated
constructs (concepts), definition , and prepositions that present a systematic
view of phenomena by specifying relation among variables, with the purpose of
explaining and predicting phenomena.” Dari definisi ini dapat diketahui
karakteristik suatu teori, yaitu (a) adanya serangkaian pernyataan yang
bersifat universal, (b) dalam pernyataan tersebut terdapat konstruk (konsep)
definisi dan preposisi yang saling berhubungan , (c) merupakan lawan dari
praktik, (d) menampilkan pandangan yang jelas dan sistematik tentang suatu
fenomena , (e) berdasarkan fakta-fakta empiris dan dapat diuji secara empiris,
(f) tujuannya adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi, dan
memadukan fenomena.
Teori
merupakan alat suatu disiplin ilmu yang berfungsi untuk menentukan arah dari
ilmu itu, menentukan data apa yang harus dikumpulkan, memberikan kerangka
konsepsional tentang cara mengelompokkan dan menghubungkan data, merangkum
fakta-fakta menjadi: generalisasi empiris, sistem generalisasi, menjelaskan dan
memprediksi fakta-fakta; dan menunjukkan kekurangan pengetahuan kita tentang
disiplin ilmu itu.
Menyimak
definisi di atas, berarti teori kurikulum mempunyai pengaruh yang besar
terhadap implementasi dan pengembangan kurikulum. Teori kurikulum bukan hanya
sebagai landasan dan acuan, tetapi juga dapat menjelaskan dan memprediksi
bagaimana praktik kurikulum. teori kurikulum mencari prinsip-prinsip atau
pernyataan tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya ada/terjadi dalam
pendidikan. Teori kurikulum selalu mengandung implikasi terhadap sikap dan
perbuatan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, kurikulum selalu melibatkan
aspek-aspek epistemologis (pengetahuan), ontologis (eksistensi dan realitas),
aksiologi (nilai-nilai). Walupun aspek-aspek tersebut sulit dipisahkan satu dengan
lainnya, ahli teori kurikulum dapat menekankan pada salah satu aspek tertentu
yang dianggap urgen.
Teori
kurikulum harus dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi para
pengembang kurikulum untuk menyusun konsep tentang situasi pendidikan yang mereka
hadapi, sehingga dapat membantu mereka untuk menjawab persoalan dan tantangan
yang ada. Teori kurikulum dapat dilihat dari empat aspek penting, yaitu: (a)
hubungan antara kurikulum dengan berbagai faktor yang dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kurikulum; (b) hubungan antara kurikulum dengan
struktur kompetensi (pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai) yang
harus dikuasai peserta didik; hubungan antara kurikulum dengan
komponen-komponen kurikulum itu sendiri, seperti tujuan, isi/materi, metode,
dan evaluasi; dan (d) hubungan antara kurikulum dengan pembelajaran yang
diajarkan.
1.5. Hubungan kurikulum dengan
Pembelajaran Bahasa Arab
Dalam beberapa literatur, sering kali
istilah “kurikulum” dan “pembelajaran” diartikan sama. Padahal, kedua istilah
tersebut mempunyai arti yang berbeda, baik secara konseptual maupun praktiknya.
Kurikulum merupakan pengalaman belajar yang terorganisasi dalam bentuk tertentu
di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah, sedangkan pembelajaran adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan guru untuk membimbing dan mengarahkan
peserta didik agar terjadi tindakan belajar sehingga memperoleh pengalaman
belajar. Kurikulum merupakan program pembelajaran, sedangkan pembelajaran
merupakan cara bagaimana mempersiapkan pengalaman belajar bagi peserta didik.
Kedua istilah tersebut secara bersama-sama digunakan oleh sekolah/madrasah
untuk mengembangkan program pendidikan.
Tujuan
pendidikan, antara lain agar peserta didik mampu terjun ke masyarakat,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki kepribadian yang baik.
Untuk itu, peserta didik harus belajar bebagai disiplin ilmu, seperti
sosial-ekonomi, sains dan matematika, bahasa dan teknologi, norma dan
sebagainya, termasuk bagaimana cara menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Di antara ilmu-ilmu tersebut adalah bahasa Arab. Bahasa Arab
sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu harus dipelajari dalam sebuah proses yang
disebut dengan pembelajaran bahasa Arab. Hubungan lain antara kurikulum dengan
pembelajaran bahasa Arab dapat juga dilihat dari silabus. Silabus ini biasanya
disusun dalam satu semester daan terdiri atas berbagai komponen, antara lain:
standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, urutan topik-topik,
skenario pembelajaran, pendekatan dan strategi, media dan sumber belajar serta
sistem penilaian. Jika diperhatikan, komponen-komponen silabus ini memiliki
kesamaan dengan komponen-komponen pembelajaran.
Jika
kurikulum adalah programnya, maka pembelajaran bahasa Arab merupakan
implementasinya. Jika kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaranJika
kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaran bahasa Arab adalah penerapannya.
Jika kurikulum merupakan teorinya, maka pembelajaran bahasa Arab merupakan
praktiknya. Apa yang dapat kita lihat dan dilakukan dalam pembelajaran bahasa
Arab, itulah sesuangguhnya kurikulum nyata (real curriculum). Kurikulum dan
pembelajaran bahasa Arab merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Keduanya mempunyai posisi yang sama. Kurikulum
merupakan segala sesuatu yang ideal, sedangkan pembelajaran bahasa Arab
merupakan realisasi dari idealisme suatu gagasan. Apa artinya sebuah kurikulum
yang sudah dirancang dengan baik, jika tidak proses pembelajarannya. Jadi,
jelas antara kurikulum dan pemebelajaran bahasa Arab mempunyai hubungan yang
sangat erat sekali seperti dua sisi mata uang koin.
PRINSIP DAN LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN
KURIKULUM
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
2.1
Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kata ‘prinsip’
menunjuk pada suatu hal yang sangat penting, mendasar, keyakinan, harus
diperhatikan, memiliki sifat mengatur dan mengarhkan, serta sesuatu yang
biasanya selalu ada atau terjadi pada situasi dan kondisi yang serupa.
Berdasarkan pemahaman kata prinsip di atas, maka prinsip pengembangan kurikulum
menunjukkan kaidah yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.
Sebenarnya
tidak terhitung banyaknya prinsip yang dapat digunakan dalam pengembangan
kurikulum, tetapi prinsip-orinsip tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu prinsip umum dan prinsip khusus.
2.1.1
Prinsip Umum
Menurut Zainal Arifin
(2013:31-35) menjelaskan ada sepuluh prinsip umum pengembangan kurikulum. di
bawah ini hanya disebutkan sembilan prinsip umum, berikut ringkasannya.
a.
Berorientasi pada Tujuan dan Kompetensi
Tujuan yang dimaksud merupakan sesuatu yang
ingin dicapai dalam pendidikan. Tujuan pendidikan mempunyai hierarki
(tingkatan). Tujuan yang dimaksud meliputi tujuan pendidikan nasional, tujuan
institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran umum, dan tujuan
pembelajaran khusus (behavioral objektive). Tujuan pendidikan harus mencakup
semua aspek perilaku peserta didik, baik dalam domain kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Kompetensi adalah perpaduan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam pola
piker dan pola bertindak. Prinsip berorientasi pada kompetensi digunakan untuk
menunjukkan sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu: (1) sebagai indicator penguasaan
kemampuan, (2) sebagai titik awal desain dan implementasi kurikulum, dan (3)
sebagai kerangka untuk memahami kurikulum.
b.
Prinsip Relevansi
Prinsip ini terdiri atas dua jenis,
yaitu relevansi eksternal dan relevansi internal. Relevansi eksternal
menunujukkan relevansi antara kurikulum dengan lingkungan hidup peserta didik
dan masyarakat, perkembangan kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang,
serta tuntutan dan kebutuhan dunia pekerjaan. Sedangkan relevansi internal,
yaitu adanya koherensi dan konsistensi antarkomponennya. Misalnya, pengembangan
isi/bahan pelajaran harus relevan dengan tujuan kurikulum dalam setiap mata
pelajaran, pengembangan proses pembelajaran harus relevan dengan isi/bahan yang
akan disampaikan kepada peserta didik dan tujuan kurikulum, pengembangan
evaluasi harus relevan dengan proses pembelajaran, isi/bahan, tujuan kurikulum.
c.
Prinsip Efisiensi
Prinsip efisien dalam pengembangan
kurikulum perlu dipertimbangkan terutama yang menyangkut tentang waktu, tenaga,
peralatan, dan dana. Para pengembang kurikulum harus memahami terlebih dahulu
situasi dan kondisi tempat di mana kurikulum itu akan digunakan. Kurikulum
harus dikembangkan secara efisien, tidak boros, sesuai dengan tingkat kemampuan
yang dimiliki.
d.
Prinsip Keefektifan
Prinsip ini dapat ditinjau dari dua
dimensi, yaitu proses dan produk. Dimensi proses mengacu pada keefektifan
proses pembelajaran sebagai real curriculum (keefektifan guru mengajar dan
keefektifan peserta didik belajar), sedangkan dimensi produk mengacu pada hasil
yang ingin dicapai.
e.
Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum harus dikembangkan secara
lentur (tidak kaku), baik dalam dimensi proses maupun dimensi hasil yang
diharapkan. Dalam dimensi proses, guru harus fleksibel mengembangkan program
pembelajaran, demikian juga peserta didik harus fleksibel memilih program
pendidikan.
f. Prinsip Integritas
Kurikulum harus dikembangkan
berdasarkan suatu keseluruhan atau kesatuan yang bermakna dan berstruktur.
Bermakna maksudnya adalah suatu keseluruhan itu memiliki arti, nilai, manfaat
atau faedah tertentu.
g.
Prinsip Kontinuitas
Kurikulum harus dikembangkan secara
berkesinambungan, baik seimbang antarmata pelajaran, antarkelas, maupun antarjenjang
pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar proses pendidikan atau belajar siswa bisa
maju secara sistematis, di mana pendidikan pada kelas atau jenjang yang lebih
rendah harus menjadi dasar untuk melanjutkan pada kelas dan jenjang di atasnya.
h.
Prinsip Sinkronisasi
Kurikulum harus dikembangkan dengan
mengusahakan agar semua kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, kokurikuler serta
pengelaman belajar lainnya dapat serasi, selaras, seimbang, searah, dan
setujuan. Jangan sampai terjadi suatu kegiatan kurikuler menghambat, berlawanan
dan mematikan kegiatan-kegiatan kurikuler lainnya termasuk dengan kegiatan
ekstra dan kokurikuler.
i. Prinsip Objektivitas
Kurikulum harus dikembangkan dengan
mengusahkan agar semua kegiatan (intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan
kokurikuler) dilakukan dengan tatanan kebenaran ilmiah serta mengesampingkan
pengaruh-pengaruh subjektivitas, emosional, dan irasional.
2.1.2
Prinsip Khusus
Di samping
prinsip-prinsip umum di atas, ada juga prinsip-prinsip khusus yang bersumber
dari anatomi kurikulum, yaitu:
a.
Prinsip Tujuan Kurikulum
Menurut Nana
Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan sumber tujuan adalah (a) ketentuan dan
kebijakan pemerintah, yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga
negara, (b) survei mengenai kebutuhan-kebutuhan siswa dengan menggunakan
angket, wawancara, observasi, (c) survei mengenai persepsi orang tua/masyarakat
tentang kebutuhannya yang dijaring melalui angket, wawancara, observasi, (d)
survei tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu yang dihimpun
melalui angket, wawancara, observasi, dan dri berbagai media massa, (e)
pengalaman negara-negara dalam masalah yang sama, dan (f) hasil penelitian
lain.
b.
Prinsip Isi Kurikulum
Menurut
Zainal Arifin (2013:38-39), prinsip ini menunjukkan: (a) isi kurikulum harus
mencerminkan falsafah dan dasar negara, (b) isi kurikulum harus diintegrasikan
dalam nation dan character building, (c) isi kurikulum harus mengembangkan
cipta, rasa, karsa dan karya agar peserta didik memiliki mental, moral, budi
pekerti luhur, tinggi keyakinan agamanya, cerdas, terampil, serta memiliki
fisik yang sehat dan kuat, (d) isi kurikulum harus mempersiapkan sikap dan
mental peserta didik untuk dapat madiri dan bertanggung jawab dalam masyarakat,
(e) isi kurikulum harus memadukan teori dan praktik, (f) isi kurikulum harus
memadukan pengetahuan, keterampilan, sikap daan nilai-nilai, (g) isi kurikulm
harus diselaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
(h) isi kurikulum harus sesuai dengan minat, kebutuhan, dan perkembangan
masyarakat, (i) isi kurikulum harus dapat mengintegrasikan kegiatan intra,
ekstra, dan kokurikuler, (j) isi kurikulum harus memungkinkan adanya
kontinuitas antara satu lembaga dengan lembagai pendidika lainnya, dan (k) isi
kurikulum harus harus dapat disesuaikan
dengan kondisi-kondisi setempat.
c.
Prinsip Didaktik-Metodik
Prinsip ini
meliputi: (a) semua pengetahuan dan kegiatan yang diajarkan harus fungsional
dan praktis, (b) pengetahuan dan kegiatan harus diselarskan dengan taraf
pemhaman dan perkembangan peserta didik, (c) guru harus membangkitkan dan
memupuk minat, perhatian, dan kemampuan peserta didik, (d) penyajian bahan
pelajaran harus berbentuk jalinan teori dan praktik, (e) dalam pembelajaran,
guru harus dapat membentuk perpaduan antara kegiatan belajar individual dengan
kegiatan belajar kelompok, (f) guru harus dapat mengembangkan sikap dan
nilai-nilai peserta didik, (g) penyajian bahan pelajaran harus dapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan dan akhlak peserta didik, (h) penyajian
bahan hendaknya menggunakan multimetode, media, sumber belajar dan variasi
teknik penilaian, dan (i) dalam hal tertentu, guru perlu memberikan bimbingan
dan konseling kepada peserta didik.
d.
Prinsip Media dan Sumber Belajar
Prinsip ini
menunjukkan kesesuaian media dan sumber belajar dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar, materi pelajaran, karakteristik media pembelajaran, tingkat
perkembangan peserta didik, tingkat kemampuan guru, praktis-ekonomis.
e.
Prinsip Evaluasi
Prinsip ini
meliputi: prinsip mendidik, prinsip keseluruhan, prinsip kontinuitas, prinsip
objektivitas, prinsip kooperatif, prinsip praktis, dan prinsip akuntabilitas.
Manfaat yang
dapat diambil dari prinsip umum dan prinsip khusus pengembangan kurikulum
tersebut adalah kita bisa menggunakannya secara bersamaan, karena akan saling
melengkapi. Semakin lengkap dan komprehensif, kesempurnaan suatu prinsip akan
semakin baik, karena akan semakin memperjelas dalam mengarahkan kerja para
pengembang kurikulum dan kesempurnaan kurikulum yang dihasilkannya. Meskipun
demikian, prinsip-prinsip yang disampikan di atas sifatnya tidak kaku, masih
mungkin untuk dimodifikasi, ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan
yang ada.
2.2
Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum
Langkah-langkah pengembangan kurikulum
sangat dipengaruhi oleh empat langkah Tyler seperti dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Keempat langkah itu meliputi: (a) merumuskan tujuan pendidikan; (b)
menyusun pengalaman belajar; (c) mengelola pengalaman belajar; dan (d) menilai
pembelajaran.
2.2.1
Merumuskan Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan yang dirumuskan meliputi tujuan nasional, institisional, dan tujuan
pembelajaran. Tujuan nasional di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang
Sistem Pendidikan yang berlaku. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional, maka
disusun tujuan institusional dan tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.
Tujuan ini kemudian menjadi kriteria untuk melihat isi, bahan pembelajaran,
metode, dan penilaian.
Tujuan
semestinya mengandung pernyataan tentang apa yang harus dilakukan peserta
didik, bukan apa yang harus dilakukan guru. Tujuan mengandung perubahan
perilaku yang diinginkan dan materi yang digunakan untuk mencapai perubahan
perilaku tersebut. Tujuan dapat ditulis secara lebih umum, seperti
‘mengembangkan minat peserta didik’.
2.2.2
Menyusun Pengalaman Belajar
Pengalaman
belajar perlu disusun untuk memberikan gagasan kepada para guru tentang rincian
kegiatan pembelajaran yang harus dilaksankan. Agar pengalaman belajar ini dapat
mencapai tujuan pendidikan pada berbagai tingkatan, maka perlu disusun terlebih
dahulu tentang kriteria penentuan pengalaman belajar. Berikut ini menurut Ella
Yulaelawati (2004:28) adalah kriteria seleksi pengalaman belajar yang perlu
dicermati oleh para pengembang kurikulum.
·
Validitas artinya dapat diterapkan di sekolah.
· Kelayakan, artinya layak dalam hal
waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah, dan pemenuhan terhadap harapan
masyarakat.
·
Optimal dalam mengembangkan pengetahuan peserta didik.
·
Memberikan peluang untuk pengembangan berpikir rasional.
· Memberikan peluang untuk
menantang pengembangan seluruh potensi peserta didik sebagai individu dan
sebagai anggota masyarakat.
· Terbuka terhadap hal
baru dan menoleransi perbedaan kemampuan peserta didik.
·
Memotivasi belajar lebih lanjut.
·
Memenuhi kebutuhan peserta didik.
·
Memperluas minat peserta didik; serta
· Mengembangkan kebutuhan
pengembangan ranah kognitif, afektif, psikomotor, sosial, emosi dan spiritual
peserta didik.
2.2.3
Menentukan Materi Kurikulum dan Mengelola Pengalaman Belajar
Pengalaman
belajar selalu mengandung materi kurikulum. Materi kurikulum ditentukan dalam
bahan kajian dan atau mata pelajaran. Di Indonesia bahan kajian dimuat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 37.
Setiap
materi pelajaran akan memuat sejumlah materi pelajaran. Untuk menentukan materi
pelajaran perlu ditentukan kriteria seleksi materi. Kriteri seleksi materi yang
dapat dipertimbangkan mencakup:
· Menuju
kamandirian peserta didik;
·
Mengandung makna yang mendalam;
·
Menyiratkan saran menuju kualitas kehidupan yang lebih baik;
· Mengandung urutan atau sistimatika
berdasarkan kepentingan, sebab akibat, makna tunggal-makna majemuk;
·
Autentik;
·
Menarik;
·
Bermanfaat bagi kehidupan peserta didik;
· Dapat
dipelajari; dan
· Layak
dipelajari.
Menurut Doll
(1993) dalam Ella Yulaelawati (2004:35), perencanaan pembelajaran merupakan kegiatan
dari desain kurikulum yang berhubungan dengan pengalaman pembelajaran,
perencanaan pembelajaran dalam kurikulum.
Pengelolaan
pengalaman belajar dapat dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan, yaitu
pengembangan vertikal dan horizontal, kesinambungan, ruang lingku, serta
urutan.
Vertikal
berhubungan dengan pengaturan urutan dan kesinambungan yaitu penempatan
kegiatan pembelajaran secara bersambung dalam kurun waktu yang panjang
(longitudinal).
Horizontal
berhubungan dengan ruang lingkup dan integrasi. Pengaturan horizontal
berhubungan dengan pengaturan kegiatan dari mata pelajaran yang berdampingan
dengan kegiatan dari mata pelajaran lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pengulangan yang tidak perlu atau tumpang tindih (overlapping) yang berlebihan.
Kesinambungan,
pengalaman belajar perlu dikelola secara berkesinambungan sejak usia dini
sampai dengan kelas yang lebih tinggi. Kesinambungan perlu mencerminkan
kemajuan belajar secara bertahap menuju keutuhan dari segi keilmuan. Pentahapan
disesuaikan dengan tahap perkembangan dan kesiapan peserta didik dalam
melaksanakan pembelajaran.
Ruang lingkup meliputi keluasan dan
kedalaman isi/materi pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik.
Urutan
merupakan sistematika penyajian pengalaman belajar yang menjamin kontinuitas
atau keberlangsungan. Untuk menyajikan urutan perlu diperhatikan penyajian
seperti berikut:
· dari
mudah ke sulit;
· dari
permukaan ke lebih mendalam;
· dari
sederhana ke lebih rumit;
· dari
konkret ke abstrak;
· dari
tunggal ke majemuk;
· dari
umum ke lebih khusus;
·
terkait dengan kehidupan nyata;
·
terkait dengan isi;
·
terkait dengan pembelajar;
·
terkait dengan kegunaan; dst.
2.2.4
Menilai Pembelajaran
Penilaian
pembelajaran merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan
informasi tentang hasil belajar peserta didik. Pengumpulan informasi
dilaksanakan dengan menerapkan asas-asas penilaian, keberlanjutan dan
kesinambungan, pengumpulan bukti-bukti autentik, akurat, dan konsisten dalam
menjamin akuntabilitas publik.
PERKEMBANGAN KURIKULUM DALAM PENGAJARAN
BAHASA
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Pemerintah
Negara Indonesia antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
mewujudkan amanat itu, pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai upaya pembangunan pendidikan
nasional. Salah satu produk UU Sisdiknas tersebut adalah kurikulum. Kurikulum
memiliki peran strategis dan signifikan dalam kemajuan pendidikan nasional.
Karena kurikulum membantu terwujudnya kualitas potensi peserta didik. Lalu
apakah yang dimaksud kurikulum itu?
Ada banyak
definisi kurikulum hingga saat ini. Dalam kurikulum termuat komponen
pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan orang tua. Tiap komponen memiliki
pandangan berbeda mengenai kurikulum. Secara umum Tyler dan Hilda Taba melalui
Ornestein dan Hunkins (2004:10) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah rencana
tindakan atau dokumen tertulis yang mencakup strategi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan atau tujuan akhir.
Sementara
itu, pemerintah melalui UU nomor 20 tahun 2003 dan PP nomor 19 tahun 2005
mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
untuk satu satuan atau jenjang pendidikan. Berdasar definisi tersebut kedudukan
pemerintah dalam kurikulum adalah penyusun dan pengatur penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya,
kurikulum juga diartikan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses
belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga
pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 2008:5). Definisi Nasution ini
mewakili pandangan lembaga pendidikan bahwa sekolah dan guru sebagai pelaksana
kurikulum. Artinya lembaga pendidikan dan guru berposisi sebagai pembimbing dan
penanggung jawab pelaksanaan kurikulum.
Di sisi
lain, orang tua beranggapan bahwa kurikulum merupakan tempat merumuskan tujuan
pendidikan dan bahan-bahan yang harus ditempuh anaknya untuk mencapai tingkat
tertentu yang (Siahaan, 1987:3). Orang tua mengharapkan kurikulum dapat
membentuk kepribadian, keterampilan, dan ilmu pengetahuan bagi anaknya.
Perbedaan
pandangan di atas terjadi karena pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan
orang tua memiliki peran berbeda baik dalam penyusunan maupun evaluasi
pelaksanaan kurikulum. Pemerintah adalan penyusun dan pengatur pedoman
penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan dan guru bertindak sebagai pelaksana.
Sementara orang tua sebagai pemberi saran dan masukan.
Kurikulum
akan selalu dikembangkan sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat. Pengembangan
kurikulum khususnya kurikulum bahasa Indonesia dilandasi tiga pandangan
teoretis dalam pengajaran bahasa. Pandangan pertama adalah pandangan paling
tradisional di antara yang lain, yaitu pandangan structural (Richard dan
Rodgers, 2001:20-21). Pandangan menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem
elemen struktural terkait untuk mengoding makna. Target pembelajaran bahasa
dilihar dari penguasaan elemen sistem bahasa seperti fonologikal dan unit
gramatikal, operasi gramatikal, dan unit leksikal. Audiolingual method, TPR,
dan Silent Way menggunakan pandangan ini.
Pandangan
kedua adalah fungsional bahasa. Menurut pandangan ini bahasa adalah sarana
untuk ekspresi makna fungsional. Teori ini menekankan pada dimensi semantik dan
komunikatif daripada hanya pada karakteristik gramatikal bahasa (Richard dan
Rodger, 2001:21). Teori ini juga mengarahkan pada spesifikasi dan organisasi
isi pengajaran bahasa dengan kategori fungsi dan makna daripada dengan elemen
struktur dan tata bahasa.
Pandangan
ketiga adalah pandangan interaksional. Pandangan ini melihat bahasa sebagai
sarana untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan untuk kinerja transaski
antarindividu. Bahasa dilihat sebagai sebuah alat untuk mengkreasikan dan
memelihara hubungan sosial. Isi pengajaran bahasa menurut pandangan ini
ditentukan dan diorganisasi oleh pola pertukaran dan interaksi.
Kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami sederetan perubahan dimulai tahun 1947,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan
tersebut memang merupakan akibat logis dari perubahan sistem politik, sistem
ekonomi, sosial budaya, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Perubahan kurikulum di Indonesia terbagi dalam tiga kategori, yaitu tahun 1947
s.d. 1968 disebut kurikulum rencana pelajaran, tahun 1975 s.d. 1984 disebut
dengan rencana pendidikan, tahun 1999 s.d. 2013 disebut dengan kurikulum
berbasis kompetensi.
Kurikulum
tahun 1947 dikenal dengan istilah rencana pelajaran. Bentuk kurikulum ini
dipengaruhi oleh sistem kolonial pemerintahan Belanda. Kurikulum ini berisi dua
hal pokok yaitu a) daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya dan b)
garis-garis besar pengajaran. Selain itu, kurikulum ini kurang menekankan pada
aspek kognitif tetapi aspek watak dan perilaku. Kemudian terjadi penyempurnaan
pada tahun 1952. Kurikulum itu dinamakan rencana pelajaran terurai. Hal yang
menonjol dalam rencana pelajaran terurai ini adalah isi pelajaran dihubungkan
dengan kehidupan sehari-hari. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul
Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan
Pancawardhana, yaitu :a) Daya cipta, b) Rasa, c) Karsa, d) Karya, e) Moral.
Setelah itu,
lahirlah kurikulum pada tahun 1975 yang berorientasi pada tujuan. Kurikulum ini
menekankan pada isi atau materi pelajaran. Menurut kurikulum ini belajar adalah
menguasai materi sebanyak-banyaknya. Dipengaruhi oleh teori behaviorisme, bahwa
proses belajar mengajar adalah berupa stimulus dan respon. Kurikulum 1975
hingga tahun 1983 dianggap sudah tidak lagi memenuhi perkembangan kebutuhan
masyarakat dan iptek sehingga muncullah kurikulum 1984. Ciri kurikulum ini
yaitu berorientasi pada tujuan instruksional, pendekatan belajar CBSA, materi
pelajaran dikemas dengan pendekatan spiral, materi diberikan berdasarkan
kesiapan dan kematangan siswa, dan menggunakan pendekatan keterampilan proses.
Selanjutnya,
kurikulum 1984 pun akhirnya disempurnakan lagi dengan kurikulum yang lebih
baru, yaitu kurikulum 1994. Kurikulum 1994 ini bercirikan dikenalnya sistem
caturwulan, menekankan materi pelajaran yang cukup padat, menggunakan strategi
yang melibatkan siswa secara aktif. Sesudah dievaluasi, ternyata kurikulum 1947
s.d. 1994 memiliki kelemahan yaitu kurangnya penguasaan keterampilan (skill)
karena yang lebih ditonjolkan penguasaan kognitif.
Untuk
semakin memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat, disusunlah kurikulum yang
berbasis kompetensi. Kurikulum tersebut adalah kurikulum 2004 dan 2006 (KTSP)
yang menekankan penguasaan kompetensi secara holistis. Kurikulum 2004
dikembangkan secara sentralisasi (disusun oleh pusat), sedangkan kurikulum 2006
dikembangkan secara desentralisasi (kerangka dasar kurikulum dari pusat,
sekolah dapat mengembangkan sesuai kondisi). Keduanya sama-sama berbasis
kompetensi. Kurikulum 2004 memuat SK, KD, MP, dan indikator pencapaian
sementara kurikulum 2006 hanya memuat SK, KD dan komponen lain dikembangkan oleh
guru.
Secara umum
setiap kurikulum yang disusun akan dilandasi oleh landasan filosofis, landasan
psikologis, landasan sosiologis, dan landasan iptek. Ornstein dan Hunkins
(2009:32) menjelaskan bahwa landasan filosofis ini menjelaskan tujuan
pendidikan, kecocokan isi, proses pembelajaran dan pengajaran, dan pengalaman
serta aktivitas yang seharusnya ditekankan oleh sekolah. Landasan psikologis
menyediakan sebuah dasar untuk memahami proses pengajaran dan pembelajaran.
Selain itu, Ornstein dan Hunkins (2009:108) juga menegaskan peranan psikologi
yaitu untuk memberi dorongan pembentukan dasar untuk metode, materi, dan
aktivitas belajar yang termuat dalam kurikulum.
Berkaitan
dengan perkembangan kurikulum di Indonesia, lantas apa saja pendekatan yang
melandasi perubahan kurikulum sejak tahun 1947 s.d. 2013? Kurikulum tahun 1947
s.d. 1964 dilandasi oleh pendekatan behaviorisme karena menekankan pembentukan
watak perjuangan. Kurikulum 1975 s.d. 1994 dilandasi oleh pendekatan
komunikatif dan keterampilan proses karena melibatkan siswa secara aktif dalam
pembelajaran. Lalu kurikulum 2004 s.d. 2013 dilandasi oleh pendekatan
kompetensi dan kontekstual-komunikatif karena siswa diarahkan pada pencapaian
kompetensi secara holistis dan memiliki kompetensi komunikatif. Karakteristik
kurikulum bahasa akan mempengaruhi penggunaan metode pengajaran bahasa. Metode
yang digunakan pun ada bermacam-macam. Metode-metode yang pernah digunakan
dalam pengajaran bahasa dipaparkan berikut ini.
Grammar-Translation Method
Metode ini
tidak hanya menentukan cara yang seharusnya digunakan untuk mengajarkan bahasa,
dengan menekankan pada penggunaan ekslusif bahasa target, teknik pengajaran
tanya jawab intensif, demonstrasi, dramatisasi untuk mengokunikasikan makna
kata. Metode ini juga menentukan kosakata dan tata bahasa yang diajarkan dan
cara menyajikannya (Richard, 2001:3). Sesuai dengan namanya metode in merupakan
kombinasi antara Metode Tata Bahasa dan Translation Method atau Metode
Terjemahan. Ciri-ciri khusus metode ini dengan sendirinya sama dengan ciri-ciri
kedua metode tersebut, antara lain:
1.
Seperti halnya dengan Metode Tata Bahasa, metode ini cocok untuk kelas
yang besar dan tidak memerlukan seorang guru yang harus menguasai bahasa asing
secara aktif dan lancer atau pendidikan khusus.
2. Tata bahasa
yang diajarkan adalah tata bahasa formal.
3. Kosakata yang dipergunakan
tergantung pada teks atau bacaan yang telah dipilih.
4. Pelajaran dimulai dengan
kaidah-kaidah tata bahasa, kosakata tanpa konteks, dan terjemahan.
5. Kegiatan penerjemahan dimulai
dengan penerjemahan kosakata tanpa konteks, kemudian bacaan-bacaan pendek,
mula-mula dari bahasa asing ke dalam bahasa siswa, kemudian sebaliknya.
6. Setiap pelajaran berisi
kaidah tata bahasa, kosakata yang harus diterjemahkan, paradigma yang harus
dihafal, serta latihan menerjemahkan, jumlah jam pelajaran disesuaikan dengan
jumlah jam yang tersedia untuk pengajaran bahasa.
7. Pronounciation atau ucapan
tidak diajarkan, kalaupun diberikan hanya sedikit sekali dan tidak ada latihan
yang mengarah kepada kemahiran menggunakan bahasa secara lisan.
Structural Method
Structural
Method dikenalkan pertama pada tahun 1920 oleh ahli linguis terapan terkemuka
Inggris, Harold Palmer. Ia adalah orang yang meletakkan dasar untuk Structural
Method. Dalam buku Curriculum Development in Language Teaching (Jack C Richard,
2001:3-4) disampaikan rangkuman prinsip metodologi pengajaran bahasa pada tahun
1920 yaitu:
1.
Orientasi siswa ke arah pembelajaran bahasa.
2.
Membentuk kebiasaan.
3.
Ketepatan – menghindari bahasa tidak akurat.
4.
Gradasi – setiap tahap menyiapkan siswa untuk tahap selanjutnya.
5.
Proporsi – setiap aspek bahasa diberikan penekanan.
6.
Konkretisasi – bergerak dari konkret menuju abstrak.
7.
Perhatian – membangkitkan perhatian siswa sepanjang waktu.
8. Urutan perkembangan – mendengarkan
sebelum berbicara, dan mendengarkan-berbicara sebelum menulis.
9. Beberapa garis pendekatan – banyak
digunakan cara berbeda untuk mengajar bahasa.
Langkah awal
ke arah metode ini berpusat pada pendekatan untuk menentukan isi kosakata dan
tata bahasa program pengajaran bahasa. Hal ini menyebabkan munculnya prosedur
yang dikenal dengan seleksi dan gradasi. Bidang seleksi dalam pengajaran bahasa
berkaitan dengan pilihan unit bahasa yang sesuai untuk tujuan pengajaran dan
dengan pengembangan teknik dan prosedur di mana bahasa dapat disederhanakan
pada bahasa yang paling berguna untuk pelajar (Mackey, 1965 melalui Richard,
2001:4). Dua aspek seleksi yang mendapat perhatian utama dalam beberapa dekade
pertama abad 20 adalah vocabulary selection dan grammar selection. Pendekatan
untuk dua aspek seleksi meletakkan dasar untuk desain silabus dalam pengajaran
bahasa. Vocabulary selection mengacu pada ‘kata apa yang seharusnya
diajarkan?’. Kata-kata dengan frekuensi tertinggi dan jangkauan terluas
dianggap yang paling berguna untuk tujuan pengajaran bahasa. (hlm 6.) Gradasi
berkaitan dengan pengelompokkan dan pengurutan item mengajar dalam silabus.
Silabus gramatikal menentukan kumpulan struktur gramatikal yang diajarkan dan
urutan di mana seharusnya diajarkan.
Situasional Method
Munculnya
metode ini dilatarbelakangi oleh pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
atau bahasa asing menjadi aktivitas semakin penting setelah perang dunia kedua
(1950-an). Mobilitas orang yang semakin luas akibat pertumbuhan perjalanan
udara dan pariwisata internasional. Semakin penting dalam perdagangan dunia.
Semua perkembangan ini mendukung perlunya perintah praktis bahasa Inggris untuk
orang-orang di berbagai belahan dunia daripada penguasaan bahasa akademik
sebagai salah satu hal yang diperoleh dalam program kelas biasa.(hlm 24).
Dengan kata
lain, pendekatan yang digunakan menitikberatkan pada bahasa sebagai alat
komunikasi. Oleh karena itu, lahirlah metodologi yang menarik pada pendekatan
lisan pada 1950-an dan 1960-an. Metodologi tersebut memiliki karakteristik
sebagai berikut.
·
Silabus struktural dengan tingkat kosakata bergradasi.
· Penyajian struktur bermakna dalam
konteks melalui penggunaan situasi untuk mengontekstualisasikan poin pengajaran
baru.
· Urutan aktivitas kelas dimulai dari
presentasi, latihan terkontrol, produksi bebas.
Ini menjadi
dikenal sebagai pendekatan situasional or pendekatan structural situasional
atau pengajaran bahasa situasional. Di Amerika pada tahun 1960-an pengajaran
bahasa di bawah pengaruh metode yang kuat yaitu audiolingualisme. Teknik
pengajaran memanfaatkan pola pengulangan dialog dan praktik sebagai dasar untuk
otomatisasi diikuti dengan latihan yang melibatkan pentransferan pola belajar
untuk situasi baru (Bloomfield 1942,12 melalui Richard, 2001:25).
Karakteristik utama metode ini adalah:
· Pengajaran bahasa dimulai dengan
bahasa lisan. Materi diajarkan secara lisan sebelum disajikan dalam bentuk
tertulis
·
Bahasa target adalah bahasa yang digunakan di kelas
·
Poin bahasa baru dikenalkan dan dipraktikkan secara situasional
· Prosedur pemilihan kosakata diikuti
untuk memastikan kosakata pelayanan umum tercakup
· Item tata bahasa yang dinilai
mengikuti prinsip bahwa bentuk sederhana lebih dulu diajarkan daripada bentuk
yang kompleks. (Richard dan Rodger 2001:39)
Communicative Method
Metode ini
didasarkan pada pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa. Pendekatan
komunikatif berawal dari teori bahasa sebagai komunikasi (Richard, ….159).
Tujuan pengajaran bahasa adalah sebagai kompetensi komunikatif (Hymes, 1972).
Teori belajar bahasa menurut metode ini adalah 1) aktivitas yang melibatkan
komunikasi nyata dalam pembelajaran; 2) aktivitas di mana bahasa digunakan
untuk melakukan tugas bermakna; 3) bahasa yang berarti bagi pelajar adalah yang
mendukung proses belajar (Johnson 1982 melalui Richard 161). Harmer (2001:84) memaparkan
bahwa pengajaran bahasa komunikatif adalah seperangkat keyakinan yang dicakup
tidak hanya pada apa aspek bahasa untuk mengajar tetapi juga pergeseran dalam
penekanan dalam bagaimana cara untuk mengajar. Metode ini juga menekankan pada
pentingnya fungsi bahasa daripada memfokuskan semata-mata pada tata bahasa dan
kosakata (daripada menekankan pada pola-pola mekanik bahasa).
ANALISIS KEBUTUHAN
Salah satu
bagian penting dalam pengembangan kurikulum adalah analisis kebutuhan. Analisis
kebutuhan dilakukan untuk menemukan apa yang perlu dipelajari dan apa
diinginkan pembelajar untuk diketahui. Karena itulah, kurikulum yang ideal
harus mewakili kebutuhan peserta didik. Dengan demikian, analisis kebutuhan
diarahkan terutama pada tujuan dan isi dari program pembelajaran (Nation dan
Machalister, 2010:24).
Lantas apa
hakikat analisis kebutuhan itu? Richard (2001:51) menjelaskan bahwa program
pendidikan yang baik harus didasarkan pada analisis kebutuhan pembelajar.
Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan
pembelajar tersebut dikenal dengan analisis kebutuhan (Richard, 2001:51).
Selanjutnya, analisis kebutuhan dalam pengajaran bahasa bisa digunakan untuk
sejumlah tujuan berbeda. Tujuannya antara lain,
· Untuk mengetahui apa kemampuan
bahasa yang pembelajar butuhkan dalam
melakukan peran tertentu.
· Untuk membantu
menentukan apakah program pembelajaran yang ada memadai bagi kebutuhan
potensial siswa.
· Untuk mengumpulkan
informasi tentang masalah tertentu yang dialami pembelajar.
· Untuk mengidentifikasi
kesenjangan antara apa yang dapat siswa lakukan dan apa yang dibutuhkan siswa
untuk dapat melakukan.
Richard
(2001:52) menyebutkan langkah pertama dalam melakukan analisis kebutuhan yaitu
menentukan dengan tepat apa tujuannya.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !